GPT-5 Udah Datang, Jangan Sampai Lupa Diri!

GPT-5 DAN EKSISTENSI MANUSIA. Pagi itu, hujan rintik membasahi kaca jendela kamar si Fulan. Aroma kopi hitam menguap pelan dari cangkir. Di hadapannya, layar laptop menyala, menampilkan kolom percakapan yang sederhana: GPT 5, yang kita sering sebut sebagai ChatGPT versi 5, merupakan versi terbaru model kecerdasan buatan dari OpenAI, yang baru saja rilis tanggal 7 Agustus 2025 lalu.

gpt 5

“Bismillah,” bisiknya sambil mengetik:

‘Assalamu’alaikum GPT, tolong buatkan khutbah Jumat tentang sabar…’

Belum sempat ia menyeruput kopi, ratusan kata sudah muncul: lengkap, rapi, disertai ayat Qur’an dan hadits. Seolah ia baru saja berbicara dengan seorang ustadz yang hafal ribuan kitab.

Fulan menatap layar itu lama. Ada rasa kagum, tapi juga rasa aneh.

Masya Allah… ini membantu sekali. Tapi… kalau AI bisa melakukan semua ini, apa artinya menjadi manusia?

Dari Kagum Menuju Pertanyaan Eksistensial

ChatGPT 5 bukan sekadar pembaruan software. Ia adalah lompatan besar. Mampu memahami konteks yang rumit, menyusun argumen, menulis artikel, membuat kode program, bahkan menganalisis masalah medis atau hukum.

Namun di tengah rasa takjub, muncul pertanyaan yang lebih dalam:

Kalau AI bisa secerdas ini, lalu apa keistimewaan dan peran manusia ?

Pertanyaan ini bukan sekadar rasa penasaran teknis. Ini adalah pertanyaan eksistensial, tentang siapa kita, apa tujuan kita, dan bagaimana kita menempatkan diri di era saat batas antara manusia dan mesin makin kabur.

Islam Menempatkan Ilmu di Bawah Iman

Dalam Islam, ilmu adalah cahaya. Tetapi cahaya itu hanya menerangi jika diarahkan oleh iman. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Artinya : “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Artinya, ilmu adalah sarana menuju kebaikan, bukan tujuan akhir. GPT 5 saat ini bisa disebut sebagai puncak kecerdasan buatan manusia, tapi ia tetaplah benda mati. Tidak shalat, tidak berzikir, tidak mengenal dosa dan pahala.

Di sinilah letak keistimewaan manusia, bukan pada kecepatan memproses data, bukan juga pada kelengkapan dan ketepatannya dalam menyajikan informasi yang diminta. Akan tetapi pada kemampuan menimbang dengan hati, nurani, dan takwa.

GPT-5 Cermin untuk Manusia di Muka Bumi

Allah telah menetapkan peran kita di dunia ini:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً

Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah : 30)

Khalifah berarti pemimpin, pengelola, penjaga. Teknologi seperti GPT 5 hanyalah alat, ia tidak punya visi, tidak punya misi. Manusialah yang menentukan ke mana ia akan dibawa: ke arah kebaikan atau kerusakan.

Maka, GPT 5 sebenarnya adalah cermin. Ia memantulkan pertanyaan yang harus kita jawab dengan jujur:

Jika ada mesin yang bisa berpikir, untuk apa manusia berpikir?

Jawabannya: untuk bersyukur, untuk beribadah, untuk mengenal Pencipta, dan untuk menebar rahmat bagi semesta.

Tantangan di Era AI

Kecerdasan buatan membuka peluang luar biasa, tetapi juga menghadirkan tantangan yang tidak kalah luarbiasanya, bagi kita yang ditakdirkan sebagai khalifah di muka bumi :

  1. Ketergantungan – Terlalu sering meminta AI berpikir untuk kita bisa melemahkan daya kritis.
  2. Kehilangan identitas – Saat mesin bisa meniru kreativitas, kita lupa bahwa kreativitas sejati lahir dari pengalaman hidup, rasa, dan iman.
  3. Bias moral – AI netral secara nilai; manusialah yang menanamkan nilai, yaitu niat baik atau niat buruk.

Di titik inilah Islam hadir sebagai kompas. AI bisa memberi arah “ke mana”, tapi hanya iman yang menentukan “untuk apa”.

Kisah Umar bin Khattab: Amanah Tak Bisa Ditinggal

Suatu hari, Khalifah Umar melihat seekor unta kurus milik seorang Arab Badui. Umar kemudian bertanya,

“Apa yang terjadi pada unta ini?” tanya Umar.

“Aku sibuk beribadah, hingga lupa memberi makan,” jawabnya.

Umar menegur tegas:

“Itu bukan ibadah, itu kelalaian!”

Kisah ini relevan di era GPT-5 atau kecerdasan buatan saat ini. Jangan sampai kita sibuk mengagumi teknologi, namun melupakan amanah utama sebagai khalifah yaitu menjaga, mengasihi, dan memakmurkan bumi.

Solusi Islam Agar Tetap Bermakna di Era GPT-5

1. Menjaga Niat

Setiap kali menggunakan GPT-5, tanyakan: Apakah ini untuk kebaikan? Apakah ini akan membuatku atau orang lain lebih dekat kepada Allah?

2. Memperkuat Ibadah

AI bisa mengingatkan jadwal shalat, tapi hanya manusia yang bisa sujud dengan hati yang hadir. Jangan biarkan teknologi melenakan bahkan menggeser prioritas kita untuk beribadah kepada Sang Pencipta.

3. Saring dengan Ilmu Syari’

GPT-5 tidak maksum, ia bisa salah. Maka pastikan informasi yang kita dapatkan selalu disaring dengan ilmu yang benar dan panduan ilmu para ulama.

4. Gunakan untuk Kemanfaatan Umum

Jadikan GPT-5 dan berbagai kecerdasan buatan lainnya sebagai sarana dakwah, pendidikan, dan solusi sosial. Misalnya, membuat materi belajar Al-Qur’an, membuat konten game edukasi islami, materi pembelajaran islam yang menarik seperti poster asmaul husna siap print, permainan edukasi online Asmaul Husna, kartu flashcard Asmaul Husna, berbagai konten inspirasi Islami, atau program bantuan kemanusiaan.

5. Bangun Komunitas Berbasis Nilai

Manusia punya satu hal yang AI tidak punya: kemampuan membangun ukhuwah. Gunakan teknologi untuk mempererat persaudaraan, bukan memecah belah.

Analoginya: Kapal dan Nahkoda

Bayangkan GPT-5 seperti kapal supercanggih. Ia bisa melaju kencang menembus lautan informasi. Tapi tanpa nahkoda, kapal itu bisa terdampar, bahkan karam.

Manusia adalah nahkodanya, iman adalah kompasnya. Tanpa keduanya, teknologi hanya akan jadi ombak yang menggulung kita.

Takjub dan Tanggung Jawab

Tak salah jika kita takjub pada GPT-5. Tapi takjub saja tidak cukup, Kita perlu rasa tanggung jawab.

Di akhirat, Allah tidak akan bertanya:

“Seberapa cepat kamu menulis dengan GPT-5?”

Tapi Dia akan bertanya:

“Untuk apa kau gunakan ilmumu, waktumu, dan amanahmu sebagai khalifah?”

Maka, mari kita gunakan GPT-5 dan berbagai teknologi kecerdasan buatan (AI) lainnya, bukan untuk menggantikan manusia, tapi untuk memperkuat peran manusia: berpikir, merasa, dan beriman.

Karena AI tidak bisa berdoa, tidak bisa meneteskan air mata saat membaca Al-Qur’an, tidak bisa memeluk anak yatim dan tidak bisa juga merasakan nikmatnya sujud pada setiap shalat-shalat kita.

Dan itulah sebabnya, betapapun maju dan canggihnya zaman hingga mampu melahirkan teknologi yang luar biasa, tetap tak akan pernah bisa dibandingkan dengan fungsi dan peran manusia sebagai khalifah di muka bumi, di sisi Allah subhanahu wata’ala.

Demikianlah artikel singkat tentang fenomena perkembangan teknologi ChatGPT-5, atau secara umum perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang semakin cepat serta begitu luar biasa, dan dampaknya bagi kita, dipandang dari sisi ajaran Islam. Hal ini secara khusus menjadi perhatian penulis secara pribadi, dengan harapan bisa memberikan sedikit wawasan, wacana bagi sahabat pembaca pada umumnya.

Kritik, pendapat dan komentar serta koreksi tentu sangat diharapkan. Silahkan tinggalkan tanggapannya pada kolom yang sudah tersedia.

Barakallahu fiikum

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Game online Flashcard Asmaul Husna
This is default text for notification bar