JIHAD MELAWAN HAWA NAFSU. Kalau kita jujur, sering banget kita kepikiran hal-hal remeh yang sebenarnya sudah selesai. Ada orang ngomong sesuatu yang nyelekit, lalu besok paginya masih kebayang. Atau urusan kantor sudah beres, tapi sisa emosinya masih nempel kayak lem.
Kayak pikiran ini nggak mau diajak pulang, dia terus berperang walaupun “musuhnya” sudah nggak ada. Dan lucunya, pertarungan dalam kepala ini kadang jauh lebih melelahkan daripada masalah itu sendiri.
Padahal konsep tentang “mengatur pikiran, mengalahkan ego, dan nyetel hati” itu sudah lama banget ada dalam Islam, bahkan dianggap sebagai jihad besar. Dalam sebuah riwayat terkenal, disebutkan :
“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.”
Sahabat bertanya, “Apa itu jihad besar?”
Rasulullah menjawab, “Jihad melawan nafsu.”
Momen itu terjadi setelah Perang Badar. Bayangin: mereka baru pulang dari medan perang beneran. Pedang, debu, darah, semuanya nyata. Tapi begitu sampai di rumah, Rasulullah malah bilang: “Itu baru yang kecil.”
Aneh ya? Atau sebenarnya justru sangat masuk akal?
Walaupun perkataan atau hadits Rasulllah di atas secara sanad, dari berbagai sumber yang penulis baca dihukumi lemah oleh sebagian ulama tafsir. Akan tetapi makna atau substansinya sahih.
Karena perang fisik itu punya akhir. Musuh mundur, senjata disarungkan, semua pulang ke keluarga. Tapi perang yang satu ini, perang di dalam diri nggak selesai cuma karena badan sudah pulang. Justru kadang muncul setelahnya.
Dan kalimat, “kita telah kembali”, itu mengandung makna dalam, yaitu tentang suatu momen yang sudah berlalu, sudah lewat, ya sudah. Jangan biarkan pikiran tetap hidup di masa yang sudah selesai.
Kira-kira kebalikan dari yang terjadi pada kaum musyrik setelah kalah di Badar. Tubuh mereka memang pulang. Tapi pikiran mereka nggak ikut pulang. Mereka menyimpan dendam, malu, marah, dan semua itu dipelihara sampai jadi Perang Uhud.
Musuhnya sudah tidak ada, tapi perang di kepala masih terus hidup.
Mirip kita zaman sekarang, kan?
Kita mungkin tidak lagi mengangkat pedang, tapi kita setiap hari ketemu “musuh internal”, rasa kesal yang kebablasan, kekecewaan yang nggak selesai, kecemasan yang muncul tiba-tiba, atau keinginan-keinginan impulsif yang bikin hati nggak tenang.
Dan di sinilah Islam bicara hal yang sama dengan ilmu psikologi modern: mindfulness.
Hadir pada momen yang sedang dijalani, bukan momen yang sudah lewat.
Islam sebenarnya sudah mencontohkan ini, jauh sebelum istilah “mindfulness” jadi tren.
Ketika perang, fokus pada perang.
Ketika pulang, lepaskan.
Ketika waktunya menundukkan hawa nafsu, hadapi itu, bukan bayangan masa lalu.
Contohnya sederhana, jika ada tetangga bilang sesuatu yang bikin kita sakit hati. Saat itu, ya wajar tersinggung. Tapi anehnya, besok kita masih keinget. Lusa keinget lagi. Padahal tetangganya sudah pergi, momen sudah selesai, suasana sudah beda.
Tapi pikiran kita masih “bertempur” dengan ucapan yang sudah lewat.
Ini persis seperti orang yang sudah pulang dari Badar, tapi pikirannya masih “di sana”.
Umar bin Khattab punya nasihat pendek tapi nyentil:
“Jika engkau mendengar kata yang menyakitkan, tundukkan kepalamu hingga kata itu berlalu.”
Dalam bahasa lain: jangan ditangkap.
Jangan dikoleksi.
Jangan diputar ulang.
Karena yang sering bikin racun itu bukan kata-katanya, tapi cara kita menyimpannya.
Orang sering stres bukan karena masalahnya gede, tapi karena pikirannya menolak keluar dari masalah itu. Dipeluk, disimpan, diulang, diputar ulang sampai akhirnya tumbuh jadi monster.
Mindfulness dalam versi Islam justru mengajarkan hal yang lebih lembut:
Lihat masalahnya, akui, lalu lepaskan.
Kalau dijalani, hidup jadi jauh lebih ringan. Kita nggak harus menanggung masa lalu, nggak harus ketakutan pada masa depan. Kita cukup mengerjakan apa yang ada di depan mata.
Nafsu itu licik dan halus. Dia ngajak kita hidup di ruang yang tidak nyata, marah pada masa lalu, takut pada masa depan. Itulah sebabnya jihad melawan hawa nafsu disebut jihad besar, musuhnya bukan di luar. Musuhnya ada di dalam, dekat sekali.
Dalam versi modern, jihad melawan hawa nafsu itu bisa berarti:
- Nggak langsung bereaksi saat kesal,
- Nggak terpancing komentar orang,
- Nggak mengikuti impuls spontan,
- dan mampu menahan diri meski suasana hati lagi acak-acakan.
Orang yang tenang bukan berarti hidupnya tanpa ujian, dia cuma lebih jago ngatur pertempuran di dalam diri. Pada akhirnya, jihad besar itu bukan perkara heroik. Bukan momen dramatik.
Ia muncul lewat hal-hal kecil, misalnya :
- Apakah kita membiarkan ucapan orang lain merusak mood?
- Apakah kita mengulang-ulang kejadian yang sudah selesai?
- Apakah hari ini kita hadir, atau pikiran kita masih tinggal di hari kemarin?
Jawaban kecil itu menentukan seberapa kuat kita menang melawan diri sendiri.
Jika kita bisa hidup di momen yang sedang berlangsung, kita sedang menjalankan ajaran Rasulullah dengan cara yang paling sederhana, tapi paling menggetarkan yaitu,
melepaskan perang yang sudah selesai, dan berjalan dengan hati yang lebih ringan.
Demikianlah artikel singkat tentang jihad melawan hawa nafsu, perang senyap yang tak terdengar. Semoga bermanfaat.
Wallahu’alam bishawab.


