HEDONIC TREADMILL. Dalam kehidupan kita pasti pernah merasakan sebuah kebahagiaan dan kepuasan saat memiliki atau mendapatkan sesuatu yang sangat diinginkan. Punya mobil baru, gadget terbaru yang lagi trend, promosi jabatan di kantor, berhasil mendapatkan pasangan hidup yang selama ini sangat diimpi-impikan. Betapa luarbiasanya perasaan puas dan bahagia kita pada saat itu. Seakan-akan kepuasan dan kebahagiaan itu akan selalu menyertai kita selamanya. Benarkah demikian ? Apakah kebahagiaan dan kepuasan tersebut akan menetap lama dalam hati kita ?
Rasakanlah perkembangannya dalam kurun waktu beberapa saat kedepan. Bisa sehari, sebulan, atau mungkin dalam jangka waktu beberapa bulan. Perlahan tapi pasti rasa puas dan bahagia yang begitu luarbiasa itu akan berangsur-angsur menghilang. Berganti kembali dengan kepuasan dan kebahagiaan seperti di awal, saat sebelum memiliki sesuatu yang diinginkan tersebut. Bahkan mulai timbul sebuah keinginan baru untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang baru saja didapatkan itu.
Sadarkah kita akan fenomena ini ? Mengapa kondisi ini bisa terjadi pada kita ? Apa latar belakang dan penyebabnya ? Baik atau burukkah kondisi seperti ini ? Mari kita bahas lebih jauh tentang hal mengejutkan ini.
Dalam dunia ilmu psikologi, khususnya psikologi keuangan (financial psychology), fenomena seperti di atas dikenal dengan istilah “Hedonic Treadmill“, atau biasa disebut juga dengan “Hedonic Adaptation”. Istilah yang ditemukan pertama kali oleh dua orang psikolog, Brickman dan Campbell, pada tahun 1971 dengan esai mereka, “Hedonic Relativism and Planning the Good Society”, yang dipublikasikan melalui the New York: Academic Press.
Konsep awal yang dikenal dengan istilah “Hedonic Adaptation” kemudian dilansir ulang dengan lebih modern oleh Michael Eysenck, dua puluh tahun kemudian dengan istilah “Hedonic Treadmill”. Keinginan akan materi yang tidak pernah habis, tidak pernah terpuaskan atau kebahagiaan yang jalan ditempat, tidak maju-maju. Seperti layaknya berjalan atau berlari di atas treadmill. Sekencang apapun laju kita untuk mengejar materi dan berharap dengan itu akan bahagia, pada kenyataannya tidak akan pernah diperoleh, seperti posisi di atas treadmill, tidak akan pernah beranjak dari posisi awal.
MAKIN BANYAK/BERLIMPAH MAKIN BAIK
Prinsip yang berlaku dalam fenomena hedonic treadmill ini adalah semakin banyak memiliki materi maka akan semakin baik. Semakin besar gaji atau pendapatan yang diperoleh akan semakin bahagia. Konsekwensinya, semakin banyak keinginan untuk membeli barang-barang, atau materi yang bisa didapat dengan kenaikan pendapatan tersebut.
Saat pendapatan 3 juta perbulan masih bisa berkendaraan dengan motor bebek/matic. Ketika pendapatan naik menjadi 5 juta per bulan ingin ganti motor sport yang lebih gagah. Saat gaji menyentuh angka 2 digit atau diatas 10 juta per bulan sudah harus mengendarai mobil. Begitu pula ketika pendapatan naik menjadi 50 juta per bulan mobil kelas Avanza sudah tidak layak, harus naik kelas mobil premium seperti Mercedes atau Alphard, dst. Berapapun pendapatan yang dimiliki senantiasa akan habis oleh pengeluaran-pengeluaran untuk membeli / memiliki materi-materi yang lebih mahal.
Gaya hidup hedonistis dengan godaan gemerlap kemewahan sudah menjadi prinsip yang harus dikejar. Makin kaya makin bahagia, makin banyak harta dan materi yang dimiliki akan semakin bahagia. Begitu asumsi yang dipercaya dan selalu digunakan sebagai pegangan hidup. Jebakan nafsu materi yang tidak berujung, sudah menjadi santapan harian. Segala keinginan dipandang sebagai kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan dan harus dipenuhi segera.
Sayangnya banyak kejadian dan penelitian yang menunjukkan bahwa korelasi antara kepemilikan harta dan kebahagiaan itu semakin menjauh saat pendapatan makin tinggi. Mengapa ? Karena nafsu akan materi tidak akan pernah terpuaskan dan berefek pada kebahagiaan yang ingin diraihpun tidak akan pernah tercapai. Semakin besar pendapatan, nafsu untuk memiliki berbagai benda dan materi pun akan semakin lebih besar lagi. Kebahagiaan hanya akan menjadi ilusi yang terus membayang, tanpa pernah tergapai. Seperti fatamorgana di tengah padang pasir atau padang es, seolah-olah nampak jelas dan dekat ternyata hanya tipuan semata.
HARTA ADALAH UJIAN
Satu kasus nyata tentang hedonic treadmill ini pernah penulis jumpai saat masih menjadi karyawan di salah satu perusahaan keuangan. Saat itu penulis memiliki team yang baru direkrut untuk memenuhi kebutuhan karyawan lapangan. Salah satu calon karyawan saat proses wawancara, diketahui mendapatkan gaji di bawah UMR (upah minimu regional) pada perusahaan sebelumnya. Dengan bekerja di perusahaan baru ini, otomatis dia akan mendapatkan gaji bulanan senilai UMR, ditambah dengan insentif yang bisa didapatnya bila memiliki performance kerja yang baik.
Selang waktu satu bulan bekerja, pendapatan bulanannya sudah melewati dua kali pendapatan sebelumnya. Hal ini disebabkan performance kerjanya yang terbilang baik, hingga selain mendapatkan gaji sesuai UMR juga mendapatkan insentif kinerja yang lumayan. Proses ini terus berlangsung hingga pada satu saat di bulan ke-4, penulis mendapatkan laporan penurunan drastis dari kinerja ybs di bulan tersebut.
Usut punya usut dalam sesi coaching dan konseling yang penulis lakukan, diperoleh fakta menyedihkan tentang penurunan kinerja ybs. Faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah besarnya biaya cicilan angsuran berbagai “kebutuhan baru”, yang harus diselesaikan setiap bulan. Angsuran cicilan yang ada sudah melampaui batas pendapatan bulananya. Besar pasak daripada tiang tepatnya.
Ternyata peningkatan pendapatan bulanan dari perusahaan yang baru ini, disikapi dengan cara yang salah. Keinginan memenuhi materi-materi yang selama ini belum terpenuhi, seketika muncul dan ingin segera diwujudkan. Salah satu cara paling mudah adalah melalui fasilitas pinjaman kredit yang memang sangat banyak berseliweran di sekitar kita.
Tanpa pertimbangan yang bijak dan matang, pemanfaatan satu fasilitas kredit diikuti dengan fasilitas-fasilitas kredit berikutnya. Hingga akhirnya bencana datang, saat harus menerima kenyataan bahwa pembayaran cicilan kredit berbagai barang tersebut ternyata sudah melewati batas kesanggupan yang wajar.
Kondisi keuangan rumah tangganya inilah yang akhirnya sangat mengganggu dan berefek terhadap penurunan kinerja ybs. Bisa dibayangkan efek yang lebih berat lagi akan dihadapi kedepannya bila tidak segera diambil tindakan penyelesaian.
Kasus tersebut memberikan pelajaran penting bagi penulis tentang bagaimana fenomena “hedonic treadmill” itu terjadi. Peningkatan pendapatan yang diikuti dengan pemenuhan “nafsu” memiliki materi-materi yang sebelumnya tidak dimiliki, tanpa pertimbangan yang matang, malah berakibat keterpurukan. Bukan menggapai kebahagiaan yang diinginkan malah sebaliknya.
Pada saat awal mungkin ybs akan merasakan kepuasan dan kebahagiaan dengan adanya peningkatan pendapatan yang cukup signifikan tersebut. Seiring dengan itu keinginan untuk menyesuaikan gaya hidup dengan besarnya pendapatan pun terjadi. Jebakan “hedonic treadmill” pun terjadi. Diperkuat dengan maraknya tawaran produk kredit/pembiayaan konsumtif yang sangat gencar, maka efek hilangnya nalar dan ratio pun tak dapat dihindari. Perlahan tapi pasti kondisi pengeluaran melebihi pendapatan terjadi dengan sendirinya, alias besar pasak daripada tiang.
Sesungguhnya memang harta atau materi itu adalah salah satu godaan / cobaan manusia yang paling besar. Sebagaimana Allah SWT sudah memperingatkan dalam Alquran tentang penyakit manusia ini,
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia, kecintaan terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik”. [QA. Ali Imran : 14 ]
Juga bisa kita lihat firman Allah berikut ini,
“Dan Kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan” [Al-Fajr : 20].
”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” [QS. Al-Anfaal : 28].
”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” [QS. Al-Kahfi : 46].
JURUS MENGHINDARI JEBAKAN HEDONIC TREADMILL DAN KEBAHAGIAAN YANG HAKIKI
Pertanyaan yang akan muncul kemudian adalah, apakah salah bila kita mencari harta yang banyak di dunia ini ?
Dari penjabaran di atas tentang fenomena hedonic treadmill sudah jelas sekali, bahwa tujuan mencari harta adalah untuk mendapatkan kebahagian. Tapi apakah kebahagiaan itu bisa didapat dengan harta yang banyak ? Kenyataan dan hasil penelitian saintifik diatas sudah juga membuktikan kekeliruan dari pendapat tersebut.
Kebahagiaan hakiki bukan terletak pada banyaknya harta, tetapi pada seberapa besar rasa syukur kita dalam menerima apapun materi atau harta yang kita dapat/miliki. Rasa syukur akan melahirkan rasa kecukupan. Hidup akan lebih bermakna jika kita hidup secukupnya. When enough is enough !
Memiliki filosofi hidup sederhana dan bersahaja, serta tidak mudah silau oleh gemerlap dunia, merupakan jurus ampuh menghindar dari jebakan hedonic treadmill tersebut. Pahamilah kebutuhan dan keinginan dengan cara yang benar. Kebanyakan dari kita acapkali salah dalam memetakan antara kebutuhan dan keinginan.
Keinginan yang seringkali dianggap sebagai kebutuhan akan menghilangan kesadaran kita, dan cenderung memanjakan nafsu. Hingar bingar dan gemerlap kehidupan kekinian dengan segala pernak-perniknya, dalam bentuk gaya hidup/lifestyle yang serba mudah dan instan, memang sangat memanjakan keinginan. Hingga tanpa sadar mengedepankan keinginan walaupun sesungguhnya bukanlah kebutuhan. Oleh karenanya perlu sekali bagi kita untuk mengetahui perbedaan antara kebutuhan dan keinginan agar bisa menerapkanya dalam kehidupan. Mengetahui perbedaan mendasar antara kebutuhan dan keinginan, merupakan langkah awal yang harus dilakukan agar tidak terjebak dalam fenomena “hedonic treadmill”.
Rasulullah SAW pun memberikan contoh terbaik pada kita sebagai umatnya dalam perilaku kehidupannya. Sebagai manusia pilihan sekaligus kekasih Allah SWT yang sudah dijamin masuk surga, bukan perkara sulit bagi beliau untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya harta di dunia. Akan tetapi beliau mencontohkan sebaliknya. Sejarah hidup Rasulullah sudah menggambarkan bagaimana sederhananya kehidupan sang Manusia Agung itu. Tujuan hidup yang semata-mata mencari keridhoan-Nya adalah kebahagiaan yang hakiki yang ingin beliau sampaikan kepada umatnya.
Allah SWT berfirman dalam QS Al Mu’min ayat 39:
“Hai kaumku, Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah kesenangan (sementara) dan Sesungguhnya akhirat Itulah negeri yang kekal”Firman Allah SWT dalam QS. Ibrahim ayat 7:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Mencari harta dalam hidup bukanlah suatu kesalahan, bahkan Allah SWT justru memerintahkan hamba-Nya untuk mencari harta. Akan tetapi harta bukanlah tujuan, namun tidak lebih hanya sebagai salah satu sarana dan bekal untuk beribadah kepada Allah ta’ala.
”Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” [QS. At-Taubah : 41].
Selain QS. At-Taubah : 41 di atas, masih banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menempatkan harta sebagai salah satu wasilah dalam ibadah. Allah ta’ala memerintahkan shadaqah, infak, dan zakat; yang kesemuanya itu menggunakan harta. Allah ta’ala telah mewajibkan haji bagi yang mampu. Itu pun juga menggunakan harta. Untuk mewujudkankannya, Allah ta’ala telah mewajibkan manusia untuk mencari nafkah yang berupa harta yang halal; yang dengan harta itu ia juga bisa menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak istri, anak, dan keluarganya.
”Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada Allah” [QS. Al-Qashshash : 73].
”Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih” [QS. Sabaa’ : 13].
”Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” [QS. Al-Mulk : 15].
”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar” [QS. Al-Hadid : 7]
Bayangkanlah betapa beruntungnya kita, jika hanya dengan menghirup udara segar di pagi hari yang cerah, berteman secangkir teh manis saja sudah dapat memberikan kebahagiaan. Menuntun anak-anak untuk mempelajari cara melafalkan dan menghafal alquran, sudah menjadi sebuah anugerah kebahagiaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Bahagia itu sangat sederhana Sahabatku !
Pada hakikatnya, manusia dikaruniai oleh Allah ta’ala harta benda sebagai titipan dan amanah yang harus dipergunakan sebagaimana mestinya. Tentunya, semua perbuatan ma’ruf dan ibadah yang dilakukan oleh manusia hanya diharapkan untuk keridlaan Allah dan balasan kelak di negeri akhirat berupa kenikmatan Jannah (surga). Itulah sebaik-baiknya kebahagiaan yang kita dambakan dan tujuan utama akhir hidup kita. Aamiin
Wallahu’alam Bishawab.