Alhamdulillah, pagi ini diberikan kelapangan dan kemudahan untuk bisa melaksanakan Shalat Gerhana, tepatnya shalat gerhana matahari yang terjadi beberapa menit lalu pada tanggal 9 Maret 2016. Memang kota Bandung, tidak dilalui langsung oleh peristiwa gerhana matahari ini, tetapi masyarakat masih bisa melihat secara langsung fenomena alam gerhana matahari partial/sebagian yang dapat disaksikan sejak sekitar pukul 7.30 pagi, dan berlangsung selama sekitar 10 menit, hingga matahari kembali bersinar penuh seperti normalnya di waktu pagi hari.
Sungguh sebuah fenomena alam yang sangat langka, dan konon hanya terjadi dalam rentang waktu 33 tahun sekali. Mungkin kita selama hidup hanya bisa menyaksikan tidak lebih dari 2 kali saja peristiwa fenomena alam ini, jika melihat rata-rata umur manusia berkisar 60-70 tahun. Tidak heran jika banyak masyarakat, yang berduyun-duyun ingin mengabadikan momen ini sebagai kenang-kenangan. Hal itu pula yang penulis saksikan saat perjalanan pulang shalat gerhana dari Mesjid Pusdai Bandung, dan melewati salah satu jalan layang di kota Bandung. Cukup banyak masyarakat dan pengendara yang berhenti di pinggir jalan layang, untuk mengambil gambar atau video peristiwa fenomena alam gerhana matahari parsial yang saat itu masih berlangsung. Posisi sudut pandang yang sangat terbuka luas, menjadi alasan utama pengambilan gambar fenomena gerhana matahari dari atas jalan layang tersebut.
Apapun kejadian menariknya dari fenomena gerhana matahari itu, satu hal yang terpenting perlu dipahami oleh kita umat muslim adalah, tentang perilaku dan contoh yang ditunjukkan oleh junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW, saat mengalami peristiwa yang sama ribuan tahun lalu. Salah satu sahabat Rasulullah yang ikut bersama Rasullullah saat hijrah ke Madinah, Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan,
”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.”
Salah seorang ulama, An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliau menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:
Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat. Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.
Dari contoh Rasulullah SAW tersebut, jelaslah bagi kita umat muslim, bahwa peristiwa fenomena alam gerhana matahari itu merupakan salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, dan merupakan salah satu tanda-tanda juga bahwa semakin dekat waktu kita menghadapi hari kiamat, suatu hari yang pasti akan datang, dan kita sebagai hamba-hamba-Nya harus siap mempertanggungjawabkan segala perbuatan dan amal kita selama hidup di dunia ini di hadapan sang Khalik, Allah SWT. Setiap peristiwa gerhana seharusnya menjadikan kita semakin takut kepada Allah SWT, semakin malu akan segala dosa dan perbuatan buruk yang kita lakukan selama ini. Bukan malah menjadikan peristiwa fenomena alam ini sebagai ajang hiburan semata, bahkan perbuatan-perbuatan yang malah menjurus pada maksiat, dengan perayaan dan pesta-pesta yang berlebihan.
TUNTUNAN ISLAM SAAT TERJADI FENOMENA ALAM GERHANA MATAHARI
Apakah kemudian tuntunan Islam dan Rasulullah untuk menyikapi kejadian fenomena alam gerhana matahari ini ? Kembali kepada contoh Rasulullah SAW di atas, maka yang terbaik harus dilakukan oleh kita adalah memperbanyak zikir, do’a dan memohon ampunan kepada Allah. Ritual ibadah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW saat menghadapi gerhana matahari sebagaimana hadist berikut ini,
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at. (HR. Muslim)
“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemudian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari)
Berdasarkan hadist tersebut maka hal-hal yang harus dilakukan saat terjadi gerhana matahari dapat kita rangkum sebagai berikut :
1. Perbanyak zikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya
2. Bersegeralah ke mesjid untuk melaksanakan shalat sunat gerhana berjamaah di mesjid.
Bagaimana bila tidak berjamaah ? Apakah shalat berjamaah merupakan syarat shalat gerhana ? Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin menjelaskan, ”Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,
”Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah”.(HR Bukhari)
Dalam hadits ini, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama (afdhol). Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.
3. Wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria.
Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,
“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya: ‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Subhanallah (Maha Suci Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’ Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.” (HR. Bukhari)Bukhari membawakan hadits ini pada bab:
”Shalat wanita bersama kaum pria ketika terjadi gerhana matahari.”
Ibnu Hajar mengatakan, ”Judul bab ini adalah sebagai sanggahan untuk orang-orang yang melarang wanita tidak boleh shalat gerhana bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.” (Fathul Bari, 4/6)
Kesimpulannya, wanita boleh ikut serta melakukan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun, jika ditakutkan keluarnya wanita tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum pria), maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/345)
4. Menyeru jama’ah dengan panggilan “ash sholatu jaami’ah” dan tidak ada adzan maupun iqomah.
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim).
Dalam hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.
5. Berkhutbah setelah shalat gerhana.
Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435). Hal ini berdasarkan hadits:
Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.
Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda,
”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis. (HR. Bukhari)
Khutbah yang dilakukan adalah sekali sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. (Lihat Syarhul Mumthi’, 2/433)
TATA CARA SHALAT GERHANA
Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berselisih mengenai tata caranya. Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1: 435-437)
Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah disebutkan di atas. Ringkasnya, tata cara shalat gerhana sama seperti shalat biasa dan bacaannya pun sama, urutannya sebagai berikut.
1.Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.
2.Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.
3.Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
5. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
6. Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
7. Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
8. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
9. Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
10.Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
11.Tasyahud.
12.Salam.
13.Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah shalat gerhana matahari, yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1: 438)
Demikianlah tuntunan Islam bagi kita umatnya, saat menghadapi berbagai macam situasi termasuk saat menghadapi fenomena alam gerhana matahari yang baru saja kita saksikan dan alami ini. Semoga dapat memberikan manfaat dan menambah keyakinan kita akan kebesaran Allah SWT dan keagungan ajaran-Nya yang disampaikan melalui junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW.
Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin…