HUKUM AFFILIATE MARKETING DALAM ISLAM. Dalam era teknologi digital yang terus berkembang pesat, muncul banyak peluang baru yang sebelumnya tidak terduga. Salah satu tren pekerjaan saat ini adalah berbisnis afiliasi atau affiliate marketing, yang pelakunya sering disebut sebagai seorang Affiliate, Afiliasi ataupun affiliator.
Konsep bisnis affiliate marketing menjadi semakin populer karena memungkinkan setiap orang atau setiap individu untuk memperoleh komisi, dari mempromosikan produk melalui media sosial dan platform online, dengan tujuan meningkatkan penjualan produk tertentu. Dan tentu saja komisi yang dihasilkan bisa sangat menjanjikan bagi siapapun, tanpa mengharuskan persyaratan-persyaratan tertentu, kecuali kemauan, kerjakeras dan ketekunan.
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah bagaimana hukum affiliate marketing dalam Islam terkait skema bisnis ini ? Apakah masih sesuai dengan ajaran syariat Islam tentang muamalah ? Adakah batasan-batasan yang harus diketahui dan dipahami agar tidak salah memilih sarana menjemput rezeki yang halal dan berkah.
Pada artikel kali ini, kita akan kupas mengenai hukum affiliate marketing dalam islam, merujuk kepada beberapa pendapat dari sumber-sumber yang kompeten di bidangnya, dan berusaha kami rangkum dalam artikel ini. Semoga bisa bermanfaat untuk menjadi referensi pribadi penulis maupun sahabat pembaca semua.
Apa Itu Affiliate Marketing?
Sebelum membahas pandangan Islam tentang affiliate marketing, sebelumnya kami sampaikan sekilas tentang bisnis ini. Affiliate Marketing adalah strategi bisnis di mana seseorang, yang biasa disebut “affiliator” atau “publisher”, mempromosikan produk dari suatu bisnis melalui konten-konten di media sosial atau platform online lainnya.
Ketika orang lain membeli produk melalui tautan yang disediakan oleh affiliator, affiliator akan mendapatkan komisi berdasarkan penjualan yang dihasilkan.
Tindakan Affiliator dan Komisi
Seorang affiliator bertanggung jawab untuk menciptakan konten yang menarik bagi konsumen potensial, dengan tujuan meningkatkan penjualan produk yang dipromosikan. Semakin tinggi tingkat konversi dan penjualan yang dihasilkan oleh affiliator, semakin besar pula komisi yang diterima.
Pembahasan lebih lengkap tentang affiliate marketing ini, telah kami bahas dalam artikel khusus sebelumnya yang berjudul Affiliate Marketing : Peluang Bisnis Minim Modal Era Digital, yang bisa dibaca untuk memahami tentang bisnis ini lebih jauh lagi.
Perspektif Islam tentang Komisi Affiliate Marketing
Apakah komisi atau pendapatan dari bisnis affiliate marketing ini halal atau tidak dalam Islam? Bagaimana hukum affiliate marketing dalam Islam ? Dalam konteks ini, penting untuk memahami prinsip-prinsip ekonomi Islam dan relevansinya terhadap model bisnis ini.
Muamalah dalam Islam
Affiliate marketing dapat dilihat sebagai bentuk muamalah dalam Islam, yaitu hubungan transaksi ekonomi antara individu atau entitas. Dalam hukum fikih Islam, terdapat prinsip dasar yang menyatakan bahwa segala bentuk muamalah (transaksi atau hubungan ekonomi) diperbolehkan kecuali ada dalil (bukti atau petunjuk) yang mengharamkannya.
Prinsip ini menunjukkan fleksibilitas dalam memandang berbagai aspek aktivitas ekonomi, selama tidak ada indikasi yang jelas dan kuat tentang larangan dalam ajaran Islam. Dalam konteks affiliate marketing, prinsip ini menggambarkan bahwa model bisnis ini pada dasarnya diperbolehkan dalam Islam, selama tidak ada aspek yang melanggar prinsip-prinsip agama.
Hukum Affiliate Marketing Dalam Islam Masuk Dalam Akad Ju’alah
Affiliate marketing dalam konteks hukum Islam dapat dianggap sebagai bentuk muamalah yang sah karena mengacu pada akad Ju’alah. Konsep akad Ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan (reward/’iwadh//ju’l) tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
Dalam Al Quran konsep akad Ju’alah ini dijelaskan dalam kisah Nabi Yusuf, yaitu pada surat Yusuf ayat 72 :
قَالُوْا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيْمٌ
Artinya:
“Mereka menjawab, Kami kehilangan alat takar, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu.” (QS. Yusuf : 72)
Jadi dalam akad ju’alah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
- Ada seorang Ja’il, yaitu pihak yang berjanji akan memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil pekerjaan (natijah) yang ditentukan.
- Maj’ul lah, yaitu pihak yang melaksanakan Ju’alah.
- Objek Ju’alah (mahal al-‘aqd/maj’ul ‘alaih) harus berupa pekerjaan yang tidak dilarang oleh syariah, serta tidak menimbulkan akibat yang dilarang.
- Hasil pekerjaan (natijah) sebagaimana dimaksud harus jelas dan diketahui
oleh para pihak pada saat penawaran; - Imbalan Ju’alah (reward/’iwadh//ju’l) harus ditentukan besarannya oleh
Ja’il dan diketahui oleh para pihak pada saat penawaran; dan - Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka (sebelum pelaksanaan
objek Ju’alah);
Oleh karena itu, pentingnya memahami konsep akad ju’alah dalam affiliate marketing adalah untuk mengenali dasar hukum islam yang mendukung keberadaan model bisnis ini dalam Islam. Selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam di atas, sah secara hukum fiqih muamalahnya.
Kehalalan Komisi Affiliate
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sangat penting untuk menjalankan bisnis ini dengan integritas, kejujuran, dan memperhatikan kehalalan produk yang dipromosikan agar sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Jika dalam pelaksanaanya terdapat atau mengandung unsur-unsur yang tidak sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam, maka akan menjadi haram, dan komisi yang didapatkan juga akan menjadi haram.
Beberapa kemungkinan pelanggaran yang bisa terjadi dari beberapa kajian fiqih yang penulis bisa rangkum adalah sebagai berikut :
- Pentingnya Integritas dalam Affiliate Marketing. Sebagai affiliator, penting untuk menjaga integritas dan jujur dalam promosi produk. Mengikuti prinsip-prinsip Islam dalam berbisnis berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan pertimbangan etis terhadap produk yang dipromosikan.
- Memahami Produk yang Dipromosikan. Sebelum mempromosikan produk, affiliator perlu memahami produk tersebut dengan baik. Hal ini membantu menghindari promosi produk yang mungkin tidak halal atau meragukan kehalalannya.
- Unsur gharar (ketidakjelasan). Munculnya unsur gharar (ketidakjelasan) dalam produk dan penawaran yang di buat, bisa saja terjadi karena upaya untuk meningkatkan nilai jual dari produk yang dipromosikan.
Beberapa hal di atas bila terjadi atau dilakukan oleh affiliator tentu menjadikan kegiatan bisnis affiliate marketing menjadi tidak syar’i dan bertentangan dengan syariat Islam. Jika unsur-unsur tersebut bisa dihilangkan, maka insya Allah tidak akan terjadi kerugian dari pihak penjual, pelanggan, maupun affiliator tersebut.
Jadi jelas sekali, jika kegiatan bisnis affiliate marketing ini tidak melanggar ketentuan Allah, maka bisnis ini bisa untuk dijalankan, dan komisi yang didapatkan oleh para affiliator juga halal untuk diterima.
Untuk penjelasan lengkap dan lebih detail tentang fiqh muamalah dari bisnis affiliate marketing ini, bisa disaksikan melalui video dari Ustadz Ammi Nur Baits, ST. BA di bawah ini :
Kesimpulan
Hukum affiliate marketing dalam Islam sebagai sebuah bisnis atau kegiatan muamalah, secara prinsip tidak bertentangan. Islam menganjurkan umatnya untuk berdagang dan bekerja demi memperoleh rezeki yang halal, asalkan dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika, moral serta ketentuan syariat Islam.
Oleh karena itu, bisnis affiliate marketing yang merupakan model bisnis di mana penghasilan diperoleh melalui promosi produk, adalah sesuatu yang dapat disikapi positif dalam Islam. Namun, ada beberapa aspek penting terkait ketentuan syariat, yang perlu diperhatikan agar komisi affiliate menjadi halal.
Integritas dan ketaatan seorang affiliator atau pelaku bisnis affiliate marketing terhadap ketentuan syariat Islam, harus menjadi pilar utama dalam menjalankan semua aktivitas. Semuanya tentu agar setiap aktivitas yang dilakukan menjadi bernilai ibadah, bukan saja mendapatkan keuntungan di dunia, tapi yang lebih utama lagi menjadi bekal untuk kembali kepada Pencipta kita nantinya.
Wallahu’alam bishawab.
Semoga bermanfaat.