SEMAKIN DIKEJAR SEMAKIN MENJAUH. Kebahagiaan seringkali dipersepsikan sebagai tujuan hidup yang utama. Banyak orang bekerja keras, habis-habisan karena yakin bahwa kerja keras tidak akan mengkhianati hasil. Mengejar kesuksesan, serta mengumpulkan harta benda demi menggapai kebahagiaan.
Berlibur ke tempat-tempat eksotis, membeli barang-barang mewah serta mencari pengalaman baru yang jarang dialami orang lain, dianggap sebagai cara untuk meningkatkan rasa bahagia. Tetapi tahukah sahabat pembaca, bahwa ternyata banyak orang yang pada kenyataannya saat terus berusaha keras mencari dan mengejar kebahagiaan, justru kebahagiaan itu tidak kunjung dirasakan.
Atau sahabat sendiri mungkin sudah atau pernah mengalaminya ? Ya, situasi inilah yang dikenal dengan fenomena Paradoks Kebahagiaan atau The Paradox of Happiness. Nah, bagaimana sih sesungguhnya Paradoks Kebahagiaan itu bisa terjadi ?
Lalu bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya? Yuk, kita coba telusuri bersama fenomena paradoks kebahagiaan yang semakin dikejar semakin menjauh ini sesungguhnya. Penulis akan coba merangkum dari berbagai sumber yang penulis baca, baik dari buku maupun dari internet, semoga bisa memberikan pencerahan bagi penulis pribadi dan sahabat pembaca semua.
Kenapa Kebahagiaan Semakin Dikejar Semakin Menjauh ?
Fenomena ini pertama kali dipelajari oleh Iris Mauss, profesor dari University of California, Berkley. Menurut studinya, orang yang terlalu fokus menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidup justru sering merasa kecewa.
Kenapa? Karena mereka terlalu sibuk mengevaluasi perasaan sendiri. Misalnya, saat liburan udah direncanain matang-matang dengan ekspektasi tinggi, tapi kenyataannya nggak sesuai. Kecewa deh.
Semakin dipikirin, “Udah bahagia belum ya?” atau “Kok nggak seseru yang dibayangin?”, malah bikin momen itu terasa hambar. Padahal niatnya mau happy-happy aja, kan? Ironis banget.
Bahagia Itu Instan?
Orang yang terlalu ngotot mengejar bahagia cenderung pengen mendapatkan hasil instan. Misalnya, punya waktu luang, pasti lebih milih nonton Netflix daripada baca buku, karena efek bahagianya langsung terasa. Nggak salah sih, tapi kalau semua keputusan diambil cuma demi bahagia instan, siap-siap kecewa kalau ekspektasi nggak terpenuhi.
Padahal seringkali kebahagiaan sejati itu bisa diperoleh setelah melalui perjuangan dan perjalanan yang panjang serta berliku. Merasakan setiap momen perjalanan dan perjuangan serta menikmatinya, sesungguhnya merupakan cara sederhana untuk mendapatkan kebahagiaan.
Standar Kebahagiaan yang Tidak Realistis
Salah satu jebakan terbanyak dalam mengejar kebahagiaan adalah kecenderungan untuk menyamakan diri dengan orang lain. Banyak orang menetapkan standar kebahagiaan bersumber pada kehidupan orang lain.
Tidak jarang di era sosial media saat ini kita suka terbawa standar kebahagiaan orang lain. Lihat postingan liburan teman di Instagram, terus mikir, “Duh, aku kapan ya bisa kayak gitu?” Padahal, yang kita lihat itu cuma highlight, bukan realita.
Semua orang punya hari-hari berat yang nggak diunggah ke media sosial. Jadi, kalau bahagia cuma berdasarkan apa yang terlihat, bisa-bisa malah jadi sumber stres sendiri.
Perspektif Islam Tentang Kebahagiaan
Dalam Islam, kebahagiaan bukan cuma soal euforia. Lebih dari itu, bahagia adalah saat hati tenang dan dekat dengan Allah. Allah berfirman:
أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
Artinya : “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Artinya, kebahagiaan sejati bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi seberapa dekat hubungan kita dengan Allah. Bahkan saat diuji, selama kita bisa sabar dan ikhlas, itu juga bentuk kebahagiaan.
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wassalam juga mengajarkan, bahagia bukan soal apa yang kita kejar, tapi bagaimana kita mensyukuri setiap momen. Rasulullah bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Artinya : “Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Nggak perlu nunggu semua kondisi sempurna buat bahagia. Nikmati dan syukuri aja prosesnya. Kadang, di balik rasa nggak nyaman, ada hikmah besar yang Allah siapkan.
Kebahagiaan Itu Soal Perspektif
Manusia cenderung ingin selalu merasa bahagia. Tapi kenyataannya, hidup nggak selalu mulus, ada suka, ada duka. Jika perspektif kita tepat, justru rasa pahit dan manis itu yang bikin hidup lebih berwarna.
Bayangin deh, lagi jalan di gurun pasir yang panas dan tandus. Pas nemu oasis, airnya pasti terasa luar biasa segar. Kenapa? Karena sebelumnya udah merasakan dahaga yang luar biasa. Begitu juga hidup, kalau nggak pernah ngalamin susah, kita nggak bakal tahu gimana nikmatnya bahagia.
Bahagia Itu Sederhana
Kadang, yang bikin kita nggak bahagia justru ekspektasi yang terlalu tinggi. Pengen semuanya sempurna, padahal hidup itu nggak ada yang benar-benar sempurna. Cinta nggak selalu indah, kerjaan nggak selalu menyenangkan. Tapi, bukan berarti kita nggak bisa bahagia. Justru, ketika kita bisa berdamai dengan ketidaksempurnaan, disitulah kebahagiaan muncul.
Berhenti membandingkan hidup dengan orang lain. Stop juga berharap semua harus sesuai rencana. Lebih baik, nikmati aja tiap proses. Syukuri hal-hal kecil. Karena dari situlah rasa bahagia yang sebenarnya akan muncul. Seperti kata pepatah, “Bahagia itu sederhana, sesederhana kamu bersyukur atas apa yang ada.”
Kebahagiaan bukan tentang terus-terusan mencari, tapi tentang menerima dan menikmati. Nggak perlu muluk-muluk, cukup syukuri hal-hal sederhana dalam hidup. Karena pada akhirnya, bukan seberapa besar yang kita miliki yang bikin bahagia, tapi seberapa besar kita bisa menikmati dan bersyukur atas apa yang ada.
Jangan Terlalu Dipikirin, Nikmati Saja
Fenomena paradoks kebahagiaan, mengajarkan pada kita bahwa kebahagiaan itu semakin dikejar semakin menjauh. Kebahagiaan sejati muncul saat kita mampu menikmati setiap proses, menerima ketidaksempurnaan, serta menciptakan arti dalam tiap momen kehidupan.
Jadi, yuk, belajar berdamai dengan kenyataan, menikmati setiap proses, dan ingat selalu, bahwa kebahagiaan yang hakiki adalah saat kita merasa dekat dengan Allah. Insha Allah, hati akan lebih tenang dan bahagia pun datang dengan sendirinya.
Jadi, daripada terus-menerus mengejar kebahagiaan, yang semakin dikejar semakin menjauh itu, cobalah buat lebih fokus pada hidup yang bermakna serta penuh rasa syukur kepada-Nya. Dengan begitu, kebahagiaan akan tiba dengan sendirinya tanpa butuh dikejar-kejar.
Ibarat kita ingin menangkap ayam. Semakin dikejar-kejar ayam itu akan semakin sulit ditangkap. Ayam akan berlarian kesana kemari dengan cepat, yang ada kita akan kecapaian sendiri.
Tapi carilah beras, letakkan beras itu ditangan, kemudian sodorkan pada ayam sambil dipanggil dengan suara, “Kerrr…kerrr…kerr..”. Maka dalam waktu cepat ayam akan mendatangi tangan kita dan mulai mematuk-matuk beras.
Nah, saat si ayam sedang asyik makan, bahkan sambil mengusap-usap kepalanya, ayam sudah ada ditangan kita, tanpa harus berlelah-lelah mengejar-ngejarnya. Begitu pula bahagia, tugas kita cukup menyediakan tempatnya atau sarananya berupa proses apapun yang kita lakukan untuk mencapai tujuan-tujuan hidup yang ingin kita capai, seperti tangan dan beras untuk ayam tadi.
Kemudian nikmati prosesnya, seperti memberi makan ayam tadi, nikmati saja proses kita memanggil ayam-ayam itu, nikmati proses saat ayam mematuk beras-beras yang ada di tangan kita. Nikmati juga mengelus-elus kepala ayam saat sedang asyik makan, agar si ayam tidak kaget dan mendadak kabur, maka ayam sudah ada ditangan kita.
Ayo mulai nikmati tiap proses dalam kehidupan kita dengan ikhlas dan yakin serta berhuznudhon kepada ketetapan-Nya. Insha Allah, kebahagiaan tidak akan semakin dikejar semakin menjauh, tapi akan senantiasa menghampiri dan menyertai kita. Aamiin allahumma aamiin.
Wallaahu’alam bishawab.