AL BAQARAH 187 KISAH QAIS BIN SHIRMAH DAN ARAB BADUI. Sahabat pembaca Pondok Islami yang dimuliakan Allah, memasuki awal bulan Ramadhan ini, Pondok Islami mengikuti sebuah kajian yang sangat direkomendasikan, yaitu kajian 30 Kisah Mempesona di Bulan Ramadhan. Mengapa kajian ini sangat menarik dan kami rekomendasikan ?
Karena seperti kita pahami, mendengarkan kisah itu sejatinya ibarat mendatangkan malaikat-malaikat kecil, yang turun dari langit menembus hati kita. Mereka datang ke hati kita untuk memompakan semangat kita, mengobati kesedihan dan memberikan harapan serta motivasi bagi diri kita, dalam menghadapi seluruh problematika yang sedang kita hadapi dalam kehidupan.
Kajian 30 Kisah Mempesona di Bulan Ramadhan, diawali dengan kisah yang dituturkan langsung oleh Ustadz Oemar Mita, Lc tentang sahabat Nabi yang bernama Qais Bin Shirmah dan seorang sahabat dari kaum Arab Badui. Kisah Qais bin Shirmah memiliki kaitan erat dengan ayat Quran Surat Al Baqarah 187dan kisah Arab Badui ini keduanya terjadi pada bulan Ramadhan.
Nama sahabat Qais bin Shirmah mungkin masih cukup asing di telinga kita, padahal sesungguhnya secara tidak langsung kita memiliki “hutang budi” kepadanya. Nah “hutang budi” seperti apa ? dan bagaimana kisah serta hubungannya dengan Surat Al Baqarah 187 ? Begitu pula dengan sahabat dari Arab Badui ini ?
Yuk kita ikuti terus gelaran kisahnya di bawah ini.
Pingsan Membawa Berkah Turunnya Surat Al Baqarah 187
Dalam sebuah riwayat yang shahih tafsir surat Al Baqarah 183 hingga Al Baqarah 187, disana kita akan jumpai tentang sosok seorang sahabat, yaitu Qais Bin Shirmah. Beliau memang bukan sahabat yang namanya terkenal seperti Abu Bakar Shiddiq ataupun Umar Bin Khattab.
Qais Bin Shirmah termasuk sahabat dari kalangan fakir miskin, yang kesehariannya hidup dari bercocok tanam di ladang. Ketika disyariatkannya puasa pada tahun ke-2 Hijriyah bagi orang-orang beriman, Qais Bin Shirmah pun melaksanakan puasa, sebagai bentuk ketaatannya pada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Pelaksanaan puasa pada masa awal tersebut tidak sama dengan puasa yang dijalani umat Islam saat ini. Puasa pada masa itu berlangsung sejak setelah isya hingga tenggelamnya matahari di keesokan harinya, atau waktu maghrib di keesokan harinya.
Jadi waktu berbukanya sangat pendek yaitu sejak tenggelamnya matahari, atau waktu maghrib hingga waktu isya. Tentu saja pelaksanaan puasa oleh para sahabat pada masa itu, bukanlah suatu perkara yang ringan, karena sempitnya waktu berbuka puasa.
Qais bin Shirmah pun menjalankan ibadah puasa, dan di keesokan harinya mencari rezeki dengan bercocok tanam di ladang. Ditengah matahari yang sangat terik membakar di Bulan Ramadhan, beliau tetap menjalankan tugasnya mencari rezeki sambil tetap berpuasa.
Setelah seharian beliau melakukan aktifitas bercocok tanam dan terpapar matahari yang sangat terik tersebut, saat matahari mulai terbenam dengan dikumandangkannya suara adzan, maka Qais bin Shirmah pun segera menyudahi aktifitasnya dan kembali ke rumah.
Setibanya di rumah, Qais segera meneguk air putih untuk berbuka puasa. Kemudian ia pun segera ke dapur untuk mencari makanan, namun apa daya hari itu istrinya sedang memiliki udzur, sehingga tidak bisa memasak pada hari itu.
Lalu istrinya berkata kepada Qais bin Shirmah, “Wahai suamiku, maafkan aku karena tidak bisa memasak hari ini. Sebentar ya, Kamu tunggu akan aku carikan makanan untukmu.” Qais bin Shirmah pun tidak marah dan memberikan izin kepada istrinya untuk mencari makanan.
Saking lelahnya, ketika istrinya keluar mencari makanan, Qais bin Shirmah pun tertidur pulas. Qodarullah istrinya sampai di rumah kembali saat adzan Isya berkumandang, dan Qais Bin Shirma masih tertidur. Akhirnya Qais bin Shirmah tidak sempat untuk memakan makanan yang dibawa istrinya.
Dalam kondisi minim asupan makanan dan sangat kelaparan, keesokan harinya setelah sholat subuh, Qais bin Shirmah pun tetap melanjutkan aktifitas berkebun di ladang. Ditengah terik panas matahari yang sangat membakar, semakin siang kondisi fisik Qais bin Shirma semakin memburuk.
Hingga akhirnya Qais pun terjatuh pingsan dan peristiwa tersebut menggegerkan sebagian para sahabat pada masa itu. Mereka pun merasakan beratnya perintah puasa yang mereka lakukan pada saat itu, dengan pola sehabis isya hingga terbenamnya matahari hari berikutnya.
Akhirnya Allah menurunkan satu ayat dalam Surat Al Baqarah 187, yang didalamnya mengandung perintah tentang pola waktu puasa,
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ
Artinya : “…maka sesungguhnya makanlah kamu dan minumlah kamu hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam…” (QS. Al Baqarah : 187)
Maka sesungguhnya Surat Al Baqarah 187 diturunkan untuk berbicara perihal pingsannya seorang Qais bin Shirmah. Sejak peristiwa pingsannya Qais bin Shirma ini, maka berubahlah pola puasa Ramadhan umat muslim, menjadi pola puasa yang diawali sejak mulai terbitnya fajar shodiq atau waktu subuh hingga tenggelamnya matahari, yaitu waktu maghrib.
Secara tidak langsung disinilah letak rasa syukur kita. Mengapa ? Mari kita lihat, betapa banyak orang yang mengalami peristiwa pingsan di seluruh dunia ? Tapi berapa banyak orang yang peristiwa pingsannya membawa berkah seperti Qais bin Shirmah ?
Peristiwa pingsannya Qais bin Shirmah ini sungguh istimewa. Membawa berkah yang harus kita syukuri, karena peristiwa pingsannya inilah, akhirnya kita bisa mendapatkan keringanan atau rukhsah dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan.
Bayangkan jika puasa Ramadhan yang kita jalani saat ini masih mengikuti pola sehabis Isya hingga Maghrib di keesokan harinya ? Generasi terbaik akhir zaman saja, yaitu para sahabat Nabi, merasakan betapa beratnya ibadah puasa pada masa itu.
Walaupun tetap dengan keteguhan iman dan ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya yang sangat luar biasa, pasti mereka akan tetap berusaha semampu mereka untuk menjalankan ibadah puasa tersebut, betapapun beratnya. Apatah lagi kita ?
Masya Allah, Alhamdulillah, Allah sangat menyayangi hamba-hamba-Nya, hingga tak pernah habis limpahan kasih sayang yang diberikan-Nya kepada kita. Kisah terselip dalam sebab turunnya ayat Surat Al Baqarah 187, menjadi bukti kecintaan dan rahmat Allah kepada kehidupan hamba-Nya.
Kisah Seorang Arab Badui
Selain kisah tentang Qais bin Shirmah di atas, dalam riwayat Bukhari Muslim di kisahkan tentang seorang Arab Badui, yang juga terjadi di Bulan Ramadhan. Arab Badui adalah arab yang tinggal di lereng, mereka berpindah-pindah dan tidak tinggal secara permanen di satu tempat (nomaden).
Mereka memiliki keluarga, memiliki istri. Pada suatu waktu di Bulan Ramadhan, ia mencampuri istrinya di waktu siang hari. Ia tidak kuat menahan hingga waktu malam tiba. Hal ini tentu saja merupakan sebuah dosa besar, karena membatalkan puasa dan merusak kehormatan serta kemuliaan Bulan Ramadhan.
Setelah melakukan perbuatan tersebut, Arab Badui ini pun menyadari kesalahannya dan merasa sangat menyesal. Ia pun bersegera menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wassalam, dan berkata :
“Wahai Rasullulah, saya celaka ya Rasulullah!”
Kemudian Nabi pun bertanya tentang hal yang membuat Arab Badui tersebut merasa celaka. Setelah mendengarkan penuturan dari Arab Badui tersebut, Nabi tidak menjadi marah, menghardik ataupun menjawab dengan ketus. Beliau langsung memahami dan memaklumi kelemahan yang ada pada kehidupan umatnya.
Beliau lalu memberikan pilihan agar Arab Badui tersebut menggantinya dengan berpuasa selama 2 bulan penuh. Akan tetapi pilihan ini dijawab dengan keberatan oleh si Arab Badui, karena jangankan 2 bulan berpuasa, 1 hari saja ia sudah tidak tahan untuk tidak mencampuri istrinya, apalagi 2 bulan ?
Mendengar jawaban ini pun Nabi tidak menjadi marah, ataupun kesal dan menghardik umatnya, juga tidak mencela umatnya. Beliau tanpa marah, tanpa perasaan kesal kemudian memberikan pilihan kedua bagi si Arab Badui, yaitu untuk membebaskan budak.
Pilihan pengganti kedua ini pun ternyata tidak disanggupi juga oleh si Arab Badui karena ia tidak memiliki harta untuk membebaskan seorang budak. Nabi pun menjawab dengan pilihan ketiga yaitu dengan memberi makan kepada 60 orang miskin.
Lagi-lagi pilihan ketiga ini pun tidak disanggupi oleh si Arab Badui, karena ia tidak memiliki uang. Nabi pun segera beranjak ke dalam rumahnya, dan mengambil sebungkus kurma, dan meminta sahabat Arab Badui itu untuk memberikan kurma tersebut kepada setiap orang miskin yang menjadi tetangga mereka.
Mendengar permintaan Nabi ini Arab Badui kemudian menjawab,
“Memangnya ada yang lebih miskin dari saya ya Rasulullah ? Saya adalah orang yang paling miskin di kampung saya.”
Rasulullah pun akhirnya menjawab,
“Ya sudah, ini kurma untukmu, tebuslah kesalahanmu dengan apa yang kamu sedekahkan untuk keluargamu.”
Masya Allah, sungguh kisah yang sangat menyentuh dan mempesona, tentang bagaimana kasih sayang Allah dan Rasul-Nya kepada setiap hamba-Nya. Dalam kisah tersebut tidak disebutkan siapa nama sahabat Arab Badui ini menjadi sebuah hikmah bagi kita, dimana jika berkisah tentang perbuatan dosa para sahabat, maka tidak disebutkan namanya.
Mengapa demikian ? Karena untuk menjaga marwah orang yang berbuat dosa tersebut, sehingga tetap terdengar baik dan mulia di hadapan manusia.
Demikianlah kisah yang terbalut dalam turunnya ayat Al Quran, Surat Al Baqarah 187. Syariat puasa sesungguhnya merupakan proses sekaligus bukti akan kecintaan Allah subhanahu wata’ala untuk kehidupan hamba-hamba-Nya.
Syariat puasa sudah dimulai sejak zaman Nabi Adam alahissalam dan tetap bertahan dalam setiap kehidupan Nabi-nabi setelah Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Syariat puasa ini pernah di bebankan kepada kaum Yahudi, akan tetapi mereka justru menghapus dan membantah akan adanya syariat puasa ini, dan menggantikannya dengan puasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
Syariat puasa juga pernah diperintahkan kepada kaum nasrani, akan tetapi karena beratnya pelaksanaan puasa Ramadhan yang terjadi di saat matahari sedang terik-teriknya bersinar, maka mereka merubah pelaksanaanya diantara musim panas dan dingin, yaitu di musim semi.
Hanya kaum Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wassalam yang tetap taat melaksanakan dan menjaga syariat puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana Allah perintahkan tanpa pernah diubah-ubah waktunya sesuai firman-Nya,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 183)
Kilasan Hikmah
Dari dua kisah di atas kita bisa mengambil hikmah yang sangat penting bagi kehidupan kita saat ini :
1. Hadirnya Pertolongan Allah
Bagi hamba-Nya yang selalu taat, maka pertolongan Allah itu akan selalu datang di saat yang tepat. Yaitu di saat manusia yang taat kepada-Nya sudah berada pada puncak kekuatan terakhirnya.
Hal ini untuk memberikan hikmah keindahan di ujung perjuangan, dalam mendapatkan pertolongan-Nya. Jadi bagi kita yang senantiasa berusaha untuk selalu taat kepada setiap perintah-Nya, jika ditengah setiap cobaan dalam perjuangan, kita merasa pertolongan Allah belum juga datang, itu artinya Allah melihat kita masih memiliki kekuatan untuk menghadapi cobaan tersebut.
Kita harus yakin bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-hamba-Nya sendirian. Dia hanya sedang menguji kita untuk bisa mengeluarkan seluruh kemampuan, kekuatan yang kita miliki, hingga pada akhirnya kita bisa berhasil meraih dengan kekuatan dan ikhtiar kita sendiri, atau diujung perjuangan dan kekuatan akhir kita, datanglah pertolongan Allah untuk menyempurnakan jalan ikhtiar kita.
2. Allah Sangat Menyayangi Hamba-Nya
Allah adalah Dzat yang sangat disiplin ketika memberikan syariat kepada manusia. Akan tetapi Allah juga paling senang memberikan keringanan (rukhsah) kepada hamba-hamba-Nya. Mengambil rukhsah lebih mulia daripada menyempurnakannya.
Hal ini menunjukkan kesempurnaan sifat Allah sebagai Dzat yang penuh dengan kasih sayang kepada setiap mahluk-Nya. Allah sangat senang jika setiap hamba-Nya memiliki sebuah alasan untuk senantiasa mendapatkan rahmat-Nya.
Betapa indah mempesonanya hikmah di balik kedua kisah di atas. Syariat puasa Ramadhan yang mungkin bagi sebagian kita masih dianggap sebagai ibadah yang memberatkan, sesungguhnya terselip bahasa cinta dan kasih sayangnya Allah kepada kita.
Oleh karenanya, di bulan Ramadhan ini jagalah lisan kita. Hindari perkataan yang ketus, mencela, menghardik, berkomentar negatif, hingga perkataan yang bisa menyakiti orang lain. Ambillah hikmah dari kisah-kisah di atas, betapa sabar dan mulianya Nabi kita Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wassalam dalam bertutur kata.
Demikianlah pesona kisah yang terselip dalam Surat Al Baqarah 187 yaitu tentang sahabat Qais bin Shirmah dan juga tentang kisah sahabat Arab Badui yang terjadi di bulan Ramadhan. Semoga bisa menjadi inspirasi dan motivasi kita di awal bulan Ramadhan ini.
Sampai bersua di kisah berikutnya.
Barakallahu fiikum.