ARTI MEMAAFKAN. Hana mendengus kesal. Hari puasa pertama, dan semuanya sudah terasa menyebalkan. Pagi-pagi, adiknya, Iqbal, menumpahkan susu ke seprei kasurnya.
“Iqbal! Kenapa sih kamu selalu bikin ribut?” bentaknya.
Iqbal yang baru berumur lima tahun menunduk, matanya berkaca-kaca. Ibu segera datang dan mengusap kepala Iqbal.
“Hana, jangan marah-marah. Namanya juga anak kecil.”
Tapi Hana malah merengut.
“Kenapa sih Ibu selalu belain dia?” balas Hana dengan ketus.
Hari itu, Hana merasa semua orang menjengkelkan. Di sekolah, teman sebangkunya, Rina, tidak sengaja menginjak sepatunya yang baru.
“Ya ampun, maaf, Han! Aku nggak sengaja,” kata Rina panik.
Tapi Hana hanya mendelik dan berdecak kesal.
“Udah tahu baru, malah diinjek!”
Ia pulang sekolah dengan hati yang kesal. Puasa ini… kenapa rasanya berat sekali?
Puncak Kemarahan
Sorenya, saat sedang tidur siang, Hana dibangunkan oleh suara gaduh di luar kamar.
Ting! Tang! Tung!
“Hanaaa, ayo main di luar!” teriak Iqbal dari depan pintu kamarnya sambil memukul-mukul panci dengan sendok.
Kesabaran Hana habis. Ia bergegas membuka pintu, wajahnya merah padam.
“Iqbal! Berisik banget sih kamu?! Nggak bisa diem sebentar aja, ya?!” jawab Hana dengan suara tinggi.
Iqbal terdiam. Wajahnya ketakutan. Matanya berkaca-kaca, lalu tiba-tiba ia menangis dan berlari ke kamar Ibu. Hana menghela napas, masih kesal, tapi saat berbalik, ia melihat Ayah berdiri di depan pintu kamar.
“Puasa itu bukan cuma soal nahan lapar dan haus, Hana,” kata Ayah lembut. “Tapi juga menahan amarah.”
Hana diam, ia sangat segan dengan sosok ayahnya. Ayah adalah lelaki yang sangat ia hormati, ia jarang berkata-kata, dan kata-kata yang diucapkannya juga tidak pernah keras apalagi kasar.
Akan tetapi entah kenapa, jika Ayah menyampaikan sesuatu, selalu memberikan dampak besar baginya. Kali ini Ayah sudah menyampaikan nasihat atas perilakunya, berarti apa yang ia lakukan memang sudah melewati batas.
Dan ia tahu Ayahnya benar, perilaku amarah Hana sepertinya memang sudah berlebihan. Tapi kenapa sih susah banget buat nggak marah?
Malam yang Mengubah Segalanya
Malamnya, setelah berbuka ia melaksanakan shalat tarawih berjamaah di mesjid. Sepanjang perjalanan pulang, hati Hana sangat gelisah. Nasihat yang disampaikan Ayahnya sore tadi dan tausiyah dari ustadz di mesjid tadi, tentang hakekat puasa di bulan Ramadhan membuatnya merasa sangat bersalah.
Ibadah puasa merupakan sarana untuk mendidik seseorang belajar menahan diri. Bukan hanya menahan lapar dan haus, akan tetapi juga menahan diri dari hal-hal yang dilarang saat puasa, termasuk menahan emosi. Rasanya tak sabar ingin segera sampai di rumah.
Setibanya di rumah Hana segera masuk ke kamar Iqbal. Bocah itu sudah tertidur pulas, wajahnya yang polos terlihat lugu, tapi gurat-gurat kesedihan masih terlihat jelas di wajahnya. Hana duduk di tepi kasur dan menatap wajah adik satu-satunya ini, lama sekali.
Ia jadi teringat, waktu-waktu bersama Iqbal. Dulu ketika Iqbal masih kecil, Iqbal selalu mengekor ke mana pun dia pergi. Waktu Hana sakit, Iqbal lah yang pertama datang dan menawarkan permen kesukaannya.
Saat Hana dimarahi Ibu karena nilai matematikanya jelek, Iqbal langsung memeluknya dan berkata,
“Nggak apa-apa, Kak Hana. Nanti pasti Kak Hana bisa lebih baik lagi!” ujar Iqbal menyemangati dengan wajahnya yang polos disertai senyum mengembang di bibirnya yang mungil.
Hana menggigit bibirnya, ia sadar beberapa hari ini begitu jahat pada adik semata wayangnya ini. Sekelebat ia langsung teringat akan hadits Nabi Muhammad shallallaahu’alaihi wassalam yang tadi didengarnya saat shalat tarawih di mesjid,
“Orang yang paling kuat bukanlah yang paling jago berkelahi, tapi yang bisa menahan amarahnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Tak tertahan lagi, air mata Hana menggenang, dadanya menjadi hangat, ia membelai kepala Iqbal lembut, dan mengecup perlahan kepala adik tersayangnya ini.
“Maafkan kaka ya, Bal…” bisiknya, sambil mengusap air mata yang mulai menetes.
Berani Meminta Maaf dan Belajar Arti Memaafkan
Besok paginya, Hana berangkat ke sekolah dengan perasaan berbeda. Saat sampai di kelas, ia melihat Rina sedang duduk sendirian. Hana menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan mendekat.
“Rin…”, ucapnya perlahan.
Rina menoleh, sedikit ragu.
“Aku… Aku minta maaf soal kemarin, ya. Aku nggak seharusnya marah cuma gara-gara sepatu diinjek,” kata Hana dengan jujur.
Rina terkejut, tapi kemudian tersenyum lebar.
“Iya, Han! Aku juga minta maaf, ya. Aku beneran nggak sengaja.” balasnya dengan wajah ceria saking senangnya melihat permintaan maaf dari sahabatnya.
Mereka pun tertawa bersama. Hari itu, Hana merasa dadanya lebih ringan, ia telah belajar arti memaafkan dari sahabatnya ini. Saat pulang, ia langsung mencari Iqbal di rumah. Bocah kecil itu sedang menggambar di ruang tamu.
“Iqbal…” panggil Hana dengan suara lantang.
Iqbal menoleh, lalu buru-buru menunduk lagi. Hana berlutut di hadapannya dan mengusap kepalanya lembut.
“Kakak minta maaf ya, Bal. Kemarin Kakak marah-marah terus…” ucap Hana lembut.
Iqbal mengangkat wajahnya, matanya berbinar.
“Jadi Kak Hana nggak marah lagi?” tanyanya polos.
Hana menggeleng sambil tersenyum. Dengan wajah ceria, Iqbal langsung memeluk Hana erat.
“Yeay! Kak Hana udah baik lagi!”, sorak Iqbal dengan lantang, saking gembira dan senangnya mendapati Hana sudah tidak marah lagi kepadanya.
Hana pun tertawa riang, kini ia merasa hatinya jauh lebih damai, ia telah belajar arti memaafkan dari kejadian ini.
“Maafkan kekhilafan Hana Ya Allah. Terimakasih Engkau telah memberikan pelajaran berharga tentang arti memaafkan di bulan Ramadhan kali ini. Semoga Hana bisa menjadi Kakak dan orang yang lebih baik lagi setelah Ramadhan ini! Aamiin.”, ucap Hana dalam hati, memohon ampun, sekaligus harapannya kepada Sang Pemilik hati, Allah azza wa jalla dengan penuh kekhusyukan.
Catatan:
Cerita Anak Islami ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, tempat, dan kejadian dalam cerita ini hanyalah hasil imajinasi penulis dan tidak ada kaitannya dengan kejadian nyata. Jika terdapat kesamaan nama atau peristiwa, itu adalah kebetulan belaka. Cerita ini dibuat untuk menyampaikan pesan moral serta hikmah dari bulan suci Ramadhan, tanpa bermaksud menyinggung pihak mana pun.