MALAM RAMADHAN. Malam pertama Ramadhan tiba. Bintang bertaburan di langit, suara bedug maghrib menggema di udara, dan wangi kolak pisang buatan Ibu menyeruak dari dapur. Fadhil, bocah delapan tahun yang ceria, duduk di depan meja makan dengan wajah sumringah.
Namun, begitu mendengar ayahnya berkata, “Nanti kita shalat tarawih di masjid, ya?” ekspresinya langsung berubah. Fadhil menelan ludah. Matanya melirik ke arah jendela, melihat halaman rumah yang mulai gelap.
Fadhil memang sejak kecil takut gelap. Setiap malam, lampu kamarnya harus tetap menyala. Jika tiba-tiba mati lampu, ia akan menjerit dan berlari mencari ibunya. Orang tuanya sudah mencoba berbagai cara untuk mengatasi ketakutannya, tapi tetap saja, Fadhil merasa gelap adalah sesuatu yang menakutkan.
Mesjid di ujung gang yang akan menjadi tempat keluarganya melaksanakan shalat tarawih terlihat seram dengan pohon besar di depannya. Ia ingat cerita teman-temannya tentang bayangan hitam yang sering muncul di dekat masjid saat malam tiba.
“Fadhil nggak mau, Yah. Shalat di rumah aja, boleh?” ujarnya lirih.
Ayahnya tersenyum. “Tapi, tarawih di mesjid lebih seru, Nak. Bisa bareng teman-teman.”
“Tapi… gelap, Yah,” gumamnya.
Ibu yang duduk di sebelahnya mengelus kepalanya. “Fadhil tahu nggak? Rasulullah selalu shalat berjamaah di mesjid. Mesjid itu tempat yang penuh cahaya dan keberkahan, bukan tempat yang menyeramkan.”
Fadhil menunduk. Ia ingin seperti teman-temannya yang berani, tapi bayangan gelap di luar tetap membuatnya takut.
Misteri Bayangan Hitam
Esok harinya, di sekolah, Fadhil mendengar cerita teman-temannya.
“Kemarin aku lihat bayangan hitam di pohon depan mesjid!” seru Dani, teman sekelasnya.
“Serius? Mungkin itu jin!” timpal Rian dengan ekspresi serius.
Fadhil bergidik. Ia semakin yakin untuk tidak pergi ke mesjid saat malam. Namun, sore harinya, Ayah membujuknya lagi.
“Ayo, Nak. Kali ini coba ikut, ya? Nanti Ayah temani terus.”
Setelah berpikir lama, akhirnya Fadhil mengangguk. Malam itu Fadhil akhirnya memberanikan diri ikut ayahnya ke mesjid, meski tetap menggenggam tangannya erat.
Di perjalanan, lampu jalan di depan gang rumahnya tiba-tiba padam. Gelap pekat menyelimuti jalanan, hanya ada cahaya samar dari rumah-rumah di sekitar.
“Ayah… kita pulang aja, ya?” rengek Fadhil sambil tangannya yang gemetar memegang erat tangan ayah.
Ayahnya tersenyum dan menepuk bahunya. “Fadhil ingat nggak? Dalam gelap pun, Allah tetap melihat kita. Kalau Fadhil baca doa, Allah pasti jaga. Coba sekarang baca Ayat Kursi pelan-pelan di hati.”
Fadhil menunduk, lalu mulai menggerakkan bibirnya tanpa suara. Ayahnya tetap menggenggam tangannya erat, dan mereka melanjutkan langkah perlahan.Dengan langkah ragu, ia berjalan bersama Ayah menuju mesjid. Namun, begitu sampai di dekat pohon besar itu, ia merinding.
Tiba-tiba, bayangan hitam itu muncul lagi! Fadhil memekik dan berlari ke arah Ayah.
“Itu, Yah! Bayangan hitam!”
Ayah tertawa kecil. Ia menggandeng tangan Fadhil mendekati pohon itu. Dan betapa terkejutnya Fadhil ketika ia melihat bahwa bayangan hitam itu berasal dari… jubah Pak Ustadz yang tertiup angin!
“Lho, Fadhil, kenapa?” tanya Pak Ustaz heran.
Wajah Fadhil memerah. “Saya kira… bayangan hitam di pohon itu hantu.”
Pak Ustadz tertawa. “Subhanallah, Nak. Jangan takut. Masjid itu tempat yang suci. Allah dan para malaikat ada di sini. Setan nggak akan berani mendekat. Justru kita yang harus berani datang untuk mencari keberkahan.”
Fadhil mengangguk pelan. Rasa takutnya mulai menghilang.
Keajaiban Malam Ramadhan
Malam Ramadhan ini, untuk pertama kalinya, Fadhil mengikuti shalat tarawih di mesjid dengan tenang. Ia berdiri di samping Ayah, merasakan kebersamaan yang hangat. Setiap rakaat terasa seperti petualangan baru. Suara imam yang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an terdengar menenangkan.
Malam pertama tarawih sekaligus malam Ramadhan pertamanya di mesjid berhasil dilaluinya dengan baik. Namun, ujian tak sampai disitu, ujian berikutnya datang. Pada malam ketujuh Ramadhan, saat ia sudah mulai berani ikut tarawih, tiba-tiba listrik mesjid padam! Adit langsung panik. “Ayah, aku takut!” bisiknya gemetar.
Ayahnya menggenggam bahunya dengan lembut. “Tenang, Nak. Ini saatnya kita percaya bahwa Allah selalu menjaga kita. Lihat, semua orang tetap tenang, tetap shalat. Kita nggak sendiri.”
Adit melihat sekeliling. Memang benar, semua orang tetap berdiri, shalat mereka tetap khusyuk, imam tetap melantunkan ayat-ayat Allah. Perlahan, Adit menarik napas dalam. Ia mencoba melawan rasa takutnya.
Saat selesai, seorang kakek tua memberikan permen pada anak-anak yang tetap ikut shalat, walaupun situasi mesjid malam itu tidak nyaman karena adanya gangguan listrik.
“Ini buat anak-anak pemberani yang tarawih di masjid,” katanya sambil tersenyum.
Fadhil tersenyum lebar. Ia merasa bangga karena telah mengalahkan ketakutannya.
Saat berjalan pulang, ia berkata, “Ayah, besok kita tarawih lagi, ya? Mesjid ternyata nggak seseram yang Fadhil kira. Malah seru!”
Ayah mengusap kepalanya bangga. “MasyaAllah, Nak. Fadhil sudah menjadi anak yang berani dan mencintai mesjid. Semoga Allah memberkahi langkah-langkahmu.”
Fadhil tersenyum bangga mendengar pujian Ayahnya, walaupun rasa takut belum sepenuhnya hilang, tapi ia sudah mulai punya keberanian untuk melanjutkan shalat tarawih di mesjid pada malam-malam selanjutnya, tentu bersama Ayahnya. Ia belum memiliki keberanian untuk berangkat sendiri ke mesjid.
Terangnya Sebuah Rahasia
Malam Ramadhan kedua, Fadhil sudah tidak usah dibujuk-bujuk lagi oleh Ayah dan Ibunya untuk berangkat shalat tarawih di mesjid. Walaupun masih harus bersama dengan Ayahnya, tapi rasa takutnya terhadap gelap sudah mulai berkurang.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba ia mendengar suara anak menangis. Fadhil dan ayahnya menghentikan langkahnya. Dari sudut gang, dia melihat seorang anak kecil, mungkin lebih muda darinya, terduduk menangis sendirian.
Bersama dengan ayahnya Fadhil mendekati anak kecil itu, kemudian menyapanya,
“Nak, kenapa sendirian di sini?” tanya ayahnya.
“Aku… aku ketinggalan sama ibu. Aku takut gelap…” isaknya pelan.
Fadhil menatap anak itu. Dia bisa melihat dirinya sendiri dalam sosok anak kecil itu. Dia tahu rasanya takut gelap. Perlahan, Fadhil berjongkok dan mengulurkan tangannya. “Nggak apa-apa, aku juga takut gelap, tapi ayah bilang kalau kita baca doa, Allah bakal jaga kita. Mau ikut aku ke mesjid? Nanti ibumu pasti nyusul.”
Anak itu mengangguk ragu, tapi akhirnya menerima tangan Fadhil. Bersama, mereka berjalan ke masjid. Setiap langkah, Fadhil merasa lebih berani. Rasa takutnya mulai berkurang, digantikan dengan perasaan ingin melindungi anak kecil itu.
Saat mereka sampai di mesjid, ternyata ibu anak kecil itu juga sudah menunggu dengan cemas di depan pintu.
“Alhamdulillah, kamu selamat! Terima kasih banyak, Nak!” katanya sambil mengusap kepala Fadhil.
Fadhil tersenyum, dadanya terasa hangat. Untuk pertama kalinya, dia merasa lebih kuat. Bukan karena dia tidak takut lagi, tetapi karena dia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari rasa takutnya—keinginan untuk membantu dan keyakinannya bahwa Allah yang Maha Kuasa akan selalu menemani.
Malam itu, Fadhil mengikuti shalat tarawih tanpa menggenggam tangan ayahnya lagi. Dia sudah tidak takut lagi, karena dia tahu Allah selalu bersamanya. Ia jadi teringat ajaran pak Ustadz tentang nama-nama Allah dalam asmaul husna, Allah yang memiliki sifat Al Mu’min, yaitu pemberi rasa aman dalam diri setiap hamba-Nya.
Sejak malam Ramadhan itu, Fadhil bukan hanya rajin tarawih di mesjid, tetapi ia juga selalu menawarkan diri untuk menemani teman-temannya yang takut ke mesjid. Dia akhirnya mengerti, bahwa keberanian bukanlah tidak memiliki rasa takut, akan tetapi bisa mengontrol rasa takutnya karena yakin bahwa ada Allah yang akan selalu menjaganya.
Dan itulah rahasia sekaligus pelajaran terbesar yang ia dapatkan di malam Ramadhan kali ini, Ramadhan Kareem.
Catatan:
Cerita Anak Islami ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, tempat, dan kejadian dalam cerita ini hanyalah hasil imajinasi penulis dan tidak ada kaitannya dengan kejadian nyata. Jika terdapat kesamaan nama atau peristiwa, itu adalah kebetulan belaka. Cerita ini dibuat untuk menyampaikan pesan moral serta hikmah dari bulan suci Ramadhan, tanpa bermaksud menyinggung pihak mana pun.