Sesuai dengan pembahasan pada artikel Perencanaan Keuangan Syariah yang pertama dengan judul, “Tahun Baru Islam Momentum Melakukan Perencanaan Keuangan Secara Syari“, maka pada artikel kedua ini kita akan bahas lebih lanjut tentang arahan Islam yang bersumber pada Alquran dan Hadist Rasulullah SAW tentang Cara Mengatur Keuangan Rumah Tangga Dalam Islam.
Bekerja bagi seorang muslim akan menjadi wajib ketika ia memiliki tanggungan minimal untuk dirinya sendiri (nafkah), terlebih jika memiliki keluarga seperti disebutkan dalam Alquran Surat Al Baqarah ayat 233 :
“Para ibu bendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tabun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketabuilah bahwa Allah Mahamelihat apa yangkamu kerjakan”
dan mencari uang juga menjadi wajib ketika memiliki kewajiban terhadap hak orang lain (seperti utang piutang, ikut serta membayar denda/diat, atau membayar ganti rugi lainnya).
Ukuran nafkah (dirinya dan keluarga inti) lebih disandarkan pada kebutuhan untuk menopang hidupnya saja, karena akan berubah menjadi sunah ketika telah mencapai standar kecukupan, namun berniat menolong fakir miskin, anak yatim, janda-janda miskin, atau nafkah untuk menanggung kerabat-kerabatnya yang sebetulnya bukan tanggungan dirinya, dengan harapan dapat memelihara silaturahmi.
Pendapat ulama Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani (bersandar pada QS Albaqarah : 215) menyatakan bahwa selain kedua orang tua dari keluarga (bagi yang sudah menikah) dan kerabat yang merupakan mahram, bukanlah kewajiban seseorang untuk menafkahi mereka.
Hukum mencari harta kekayaan berubah menjadi mubah bila sudah memenuhi kebutuhan pokok, akan tetapi masih ingin mencari yang lebih untuk kesenangan dan kenyamanan dirinya beserta yang ditanggungnya dalam hal kelezatan makanan, minuman, tempat tinggal, dan perkara-perkara mubah lainnya. Baru berubah menjadi makruh bila usaha mencarinya tersebut menyebabkan seseorang meninggalkan ibadah-ibadah sunah, terjerumusnya dalam perkara-perkara makruh. Bahkan menjadi haram bila cara mencapai / mendapatkannya haram, atau menyebabkan lalai atas kewajiban-kewajiban sebagai seorang muslim (shalat tepat waktu, shaum wajib, zakat, haji, dll), atau hasil yang didapat dipergunakan untuk sesuatu yang haram.
Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir, berkata, “Mencari uang (harta) bisa jadi terpuji bila ditunaikan karena suatu kewajiban, sunah, atau mubah. Namun, bisa juga menjadi tercela dilakukan (makruh dan haram)”.
Untuk itulah, agar bekerja dapat bernilai ibadah, bekerja harus sesuai syariat yaitu harus sesuai dengan Alquran, Sunah dan ijtihad / fatwa / pendapata salafushalih (orang-orang mukmin). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat At Taubah : 105 :
“Dan Katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Untuk itu, Rasulullah SAW memberikan kita panduan praktis cara mengatur keuangan agar bernilai ibadah (sesuai sunnah). Dari Abu Abdillah (ada yang mengatakan namanya itu ialah Abu Abdirrahman) yaitu Tsauban bin Bujdud, katanya : “Rasulullah SAW bersabda : “Seutama-utama dinar yang dinafkahkan oleh seorang lelaki ialah dinar yang dinafkahkan kepada keluarganya, dan juga dinar yang dinafkahkan kepada kendaraanya untuk berjuang fi-sabilillah dan pula yang dinafkahkan kepada sahabat-sahabatnya untuk berjuang fisabilillah juga” (Hadist Riwayat Muslim).
Dari Hadist Rasulullah SAW tersebut dapat kita ambil pedoman cara mengatur keuangan agar bernilai ibadah yaitu dibelanjakan untuk :
- Untuk konsumsi (keluarga) / nafkah
- Untuk modal kerja (kendaraan yang digunakan untuk fi-sabilillah termasuk didalamnya digunakan untuk mencari nafkah )
- Untuk charity/sedekah (kepentingan umum fi-sabilillah)
Hadist tersebut di atas juga sejalan dengan Shahih Muslim No. 2984, yang dimasukan sebagai hadits ke 19 dalam kitab Riyadushalihin Bab 60, tentang Kedermawanan oleh Imam Nawawi. Dari abu Hurairah, Rasulullah SAW menceritakan seorang petani yang diberkahi usaha dan hartanya, dan beliau bersabda :
“………maka sesungguhnya aku memperhitungkan hasil yang didapat dari kebun ini, lalu aku bersedekah dengan 1/3 (sepertiganya), dan aku makan beserta keluargaku 1/3 (sepertiganya) lagi, kemudian aku kembalikan (untuk menanam lagi) 1/3 (sepertiganya)”
Memperhatikan hadist tersebut, kita dapat menarik benang merah, bahwa cara mengatur keuangan / penghasilan seorang muslim akan menjadi 3 kebaikan apabila didistribusikan :
- 1/3 digunakan untuk bersedekah
- 1/3 digunakan untuk dikonsumsi / dimakan / nafkah secukupnya
- 1/3 digunakan untuk modal kerja (dikembalikan untuk mendapatkan penghasilan kembali)
Apa yang dimaksud sedekah ?
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu’anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Bersedekahlah” Lalu seorang laki-laki berkata : Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar ? Beliau bersabda : “Bersedakahlah pada dirimu sendiri.” Orang itu berkata : Aku mempunyai yang lain. Beliau bersabda : “Sedekahkan untuk anakmu” Orang itu berkata : Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda : “Sedekahkan untuk istrimu.” Orang itu berkata : Aku masih punya yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk pembantumu.” Orang itu berkata lagi : Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda : “Kamu lebih mengetahui penggunaanya.” Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Hakim.
Jika dibagi rata setiap pendapatan kita pada pos-posnya, Insya Allah hak dan kewajiban semua pihak akan tertunaikan. Artinya, pendapatan yang dihasilkan tidak sepenuhnya untuk dikonsumsi, untuk itulah diperlukan pemahaman yang baik tentang perencanaan keuangan, agar pemanfaatanya optimal dan mendapat keberkahan serta bernilai ibadah.
Demikianlah penjelasan tentang dasar AlQuran dan Hadist terkait Perencanaan Keuangan Syariah. Untuk detil teknis Perencanaan Keuangan Syariah, akan kita bahas pada artikel berikutnya.
Bersambung ke Bagian Ketiga dengan Judul “Manajemen Keuangan Rumah Tangga Islami”.
Sumber : Kumpulan artikel Perencanaan Keuangan Syariah, Penulis Abu Yusuf.