Ketika Sang Buah Hati Terluka !
Pentingnya Memahami Parenting Islami
“Ya sudah, kalau Teteh gak mau sekolah hari ini, gak usah sekolah aja sekalian !!! Sudah dikasih tau supaya bisa bagi waktu ! Jangan pulang terlalu siang, biar bisa istirahat ! Gak diturutin !!! Udah sebesar ini masih aja gak bisa bikin prioritas, mana yang penting mana yang gak penting !”
Begitu cepat kata-kata keras dan tegas keluar dari mulut seorang Ayah, di suatu pagi. Emosi mendadak membuncah mendengar penolakan si sulung, yang sedang beranjak remaja. Penolakan berangkat sekolah hari itu, dikarenakan alasan kelelahan yang dikemukakannya, benar-benar tidak bisa diterima oleh sang Ayah. Ia yang merasa selama ini senantiasa berjuang tanpa kenal lelah untuk memberikan pendidikan terbaik bagi masa depan anak-anaknya kelak, tidak bisa menerima alasan yang disampaikan tersebut. Kegiatan ektra kurikuler sekolah di akhir minggu dan kegiatan pribadi si sulung dengan rekan-rekan alumni SMPnya, nyatanya menguras stamina hingga tidak cukup tergantikan saat istirahat malam hari, tidak dapat diterima oleh nalar sang Ayah. Tanpa bisa dibendung lagi, keluarlah kata-kata keras disertai dengan amarah meluap, sehingga membuat pagi hari yang biasanya penuh dengan keceriaan dan tawa berubah menjadi suram dan dipenuhi kabut amarah.
Pertengkaran pagi itu diakhiri dengan isak tangis si sulung dan amarah yang belum dituntaskan dalam dada sang Ayah, dan terpaksa harus terpotong oleh desakan waktu untuk segera pergi menunaikan kewajiban, menjemput rezeki pagi itu. Tidak dapat dipungkiri, sepanjang perjalanan seluruh pikiran dan emosi yang masih tertahan meninggalkan berbagai kecamuk dalam pikiran dan dada sang Ayah.
Beruntung pagi itu lalu lintas jalan masih sepi, hingga sampai tempat kerja masih dalam suasana lowong dan belum banyak rekan kerja yang tiba lebih dulu. Kesempatan untuk melihat dan mengecek kiriman berita dan informasi dari berbagai perangkat komunikasi yang ada. Tanpa sadar tertarik untuk melihat salah satu kiriman informasi dari perangkat Whatsapp, yang dikirimkan oleh pengirim yang tidak dikenal.
Ternyata kiriman tersebut berisikan catatan yang begitu mengena dengan kejadian yang dialaminya pagi itu. Berikut isi kiriman dari Whatsapp yang diterima pagi itu :
~Ketika Buah Hati Terluka~
Suatu hari si sulung terdiam ketika kami bercengkrama, saya bingung dan bertanya: “ada apa?” dia menjawab: ” aku sedih waktu bunda ngomong kencang pas aku nanya, karena waktu itu bunda lagi sibuk masak” sorot matanya sedih, saya tahu anak lelaki saya menyimpan luka, luka karena kebodohan kami sebagai orang tua, keegoisan kami menuntut terlalu banyak dari makluk mungil yang cerdas ini. Obrolan sekitar dua tahun yang lalu itu langsung memutarbalikkan semua sistem dalam pendampingannya, saya sadar kami sebagai orang tua menyimpan pe-er emosi pada si sulung, Allahku hatinya terluka…😭
Ketidaktahuan kita dalam mendampingi buah hati seringkali menimbulkan luka di hati mereka: sedih, kecewa, marah, kesal. Meskipun tak ada niatan di hati kita untuk menimbulkan luka di hatinya. Namun anak-anak kita meskipun mereka sudah dilengkapi Allah dengan sistem rasa, tapi mereka adalah pemula, yang butuh kita untuk menguatkan rasanya.
Pertanyaannya: apakah anak-anak kita tidak boleh kecewa, sedih, marah, sehingga kita cenderung mengikuti apa maunya?
Yang tidak boleh adalah menyakitinya, mengabaikannya, menuntutnya menjadi seperti kemauan ayah bunda bukan kehendak penciptaanya, dan itu semua dilakukan tanpa penjelasan yang bisa membantunya mengelola rasa.
Kecewa, sedih, kesal, marah, jijik, sedih, senang adalah fitrah yang tidak bisa dihilangkan, dengan itulah kita disebut insan yang kaya rasa, dari rasa itulah timbul motivasi diri, semangat, harapan, toleransi, empati dan simpati. Rasa inilah yang menghidupkan dunia dengan segala warnanya.
Bagaimana jika terlanjur terluka?
Obat yang paling baik untuk meredakan kemarahan dan kekecewaan adalah:
1. Hati yang ikhlas dari kita untuk menerima ananda apa adanya,
2. Meminta maaf dengan kesungguhan hati,
3. Menyayangi tanpa syarat harus blablabla,
4. Semoga energi positif itu sampai dan menyentuh hatinya.Satu-satunya cara untuk mendekat ke hatinya adalah menjadi orang yang menerimanya tanpa penilaian, pelabelan, tuntutan, tuduhan, tekanan.
Tapi, komunikasikan ke hatinya betapa bahagianya kita memilikinya, betapa beruntungnya kita dititipkan malaikat mungil yang sangat diharapkan, dan betapa tidak berilmunya kita hingga memperlakukannya dengan keliru, kisahkan sejuta harapan yang wajar untuknya, mintalah do’a padanya semoga do’anya akan menguatkan kita untuk mampu mendampinginya, dan dampingi buah hati kita untuk mampu menguatkan hati dan memberanikan dirinya.
Wallahu’alam bisshowab
Tanpa sadar, genangan air mata membayang di pelupuk mata. Hati yang begitu panas, penuh amarah sepanjang pagi dan perjalanan tadi, seketika menjadi dingin, sedingin embun di pagi yang sejuk itu. Yang muncul adalah sebongkah rasa penyesalan, setitik gundah rasa bersalah atas perlakuannya yang begitu keras pada si sulung tadi. Ucapan Istighfar dan lantunan do’a “Rabbi Habli minash shalihiin” terucap lirih mengiringi kesadaran yang menyeruak muncul seusai membaca kiriman tersebut.
Berkelebat dalam bayangan sikap dan tabiat si sulung selama ini. Kerja kerasnya dalam belajar, sikap penuh pengertiannya pada keterbatasan orang tuanya, sikapnya yang tidak pernah menuntut fasilitas berlebihan yang belum mampu dipenuhi orangtuanya. Semangatnya mengejar prestasi untuk bisa ikut dalam pertukaran pelajar gratis ke salah satu negara di Eropa, sebagai bentuk penghargaan siswa berprestasi di sekolahnya, dengan fasilitas seadanya yang disediakan orang tuanya di rumah. Serta berbagai sikap pengertian dan kesholehannya yang selama ini ditunjukkanya sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai anak tertua.
Memang tidak dipungkiri terkadang masih ada juga sikap manja, ketidakpedulian terhadap lingkungan dan berbagai sikap yang tidak berkenan di hati sang Ayah. Akan tetapi “Kiriman” dalam perangkat Whatsapp pagi itu seolah-olah menjadi “teguran” sekaligus peringatan dari sang Maha Pencipta bagi kelakuan sang Ayah pagi itu, dalam menyikapi “kenakalan” dari si sulung sang buah hati, sekaligus amanah titipan-Nya yang sangat istimewa itu.
Menjadi orang tua merupakan proses belajar yang tidak akan pernah selesai, selama hayat di kandung badan. Mendidik anak pada hakekatnya merupakan proses mendidik diri orang tua untuk menjadi manusia yang lebih baik terutama dalam hal kesabaran. Itulah sebabnya Allah SWT telah mengingatkan para orang tua akan amanah yang telah dititipkannya pada kita :
(27) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
(28) Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. ( QS.8 Al Anfal : 27-28 )“Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( QS.64 Ath-Taghobun : 14 )
Begitu pula Baginda Rasulullah Muhammad SAW, pernah mengingatkan kita tentang pendidikan anak, sebagaimana sabdanya,
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka kedua orang tuanyalah yang membuat dia (memiliki karakter) yahudi, atau (memiliki karakter) nasrani atau (memiliki karakter) majusi.” ( HR. Muslim )
Sungguh celaka orang tua yang tidak pernah mau belajar tentang bagaimana sebaiknya mendidik dan membesarkan titipan-Nya sekaligus amanah-Nya itu. Jangan sampai mereka terlanjur tumbuh dan berkembang dalam didikan yang salah, semata karena orang tua yang kurang ilmu mendidik anak berdasarkan tuntunan Allah dan rasulnya (parenting islami). Lebih celaka lagi apabaila kesalahan itu terjadi semata karena keegoisan orang tua yang selalu merasa benar, padahal tidak ada manusia yang selalu benar. Sejatinya hanya Allah SWT – lah yang paling benar.
Nabi Muhammad SAW, pernah bersabda bahwa Beliau mengkhawatirkan umat dibelakangnya yang akan seperti busa di lautan; banyak namun tidak berpendirian. Hal semacam inilah yang harus kita pertimbangkan saat merencanakan pendidikan dasar bagi anak-anak kita. Misalnya bagaimana agar ia menjadi anak yang kuat imannya, santun kepada sesama, serta kuat pula ilmunya. Ilmu akan membuat ia mampu bertahan serta senantiasa memiliki jalan ikhtiar untuk keluar dari permasalahan yang ia hadapi.
Kejadian pagi ini merupakan pelajaran penting dan sangat berharga bagi sang Ayah, dan tentunya bagi semua Ayah didunia ini. Nah, marilah para orang tua, kita koreksi kembali apakah telah benar langkah yang kita ambil dalam mendidik anak kita di rumah. Jika masih ada yang kurang, mari kita lengkapi, mari kita belajar lagi tanpa mengenal henti, khususnya tentang bagaimana mendidik anak sesuai tuntunan islam atau lebih dikenal dengan ilmu parenting islami. Jika ada yang keluar jalur, mari kita benahi, jangan pernah malu untuk senantiasa berubah menjadi orang tua yang lebih baik.
Jika telah benar dan sesuai perintah Allah, mari kita berdoa agar Allah senantiasa menjaga keistiqomahan, lisan dan hati kita dari hal-hal yang tidak Allah kehendaki. Dan janganlah pernah berhenti dan bosan untuk selalu meminta kepada Allah, agar anak-anak kita kelak menjadi anak-anak yang senantiasa berpegang teguh pada ajaran-Nya dan sunnah-sunnah Rasul-Nya.
Semoga semua amanah ini akan menjadi investasi akhirat kita, para orang tua, yang suatu saat nanti pasti akan kehabisan waktu untuk bisa menambah perbendaharaan amal shalih saat harus menghadap-Nya kelak.
Aamiin Ya Rabbal Alaamiin…
(catatan seorang Ayah, yang ingin segera memeluk dan menyampaikan permintaan maaf dan rasa sayangnya pada si sulung).
Silahkan dibagikan kepada orang-orang yang anda cintai, agar mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya…
“Siapa yang mengajak kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun dan siapa yang mengajak kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim no. 2674)
Baca juga artikel tentang cara menghafal alquran melalui mushaf alquran tikrar.