MENGAPA ORANG PERLU BELAJAR SELAMA HIDUPNYA ? Pernahkah muncul pertanyaan ini dalam benak sahabat pembaca semua ? Banyak orang berpikir bahwa belajar itu adalah mendapatkan ilmu di sekolah, mulai dari jenjang pendidikan dasar TK dan SD, jenjang pendidikan menengah SMP dan SMA, serta jenjang pendidikan tinggi mulai dari S1 hingga doktoral (S3).
Apakah hanya itu saja ? Coba kita simak firman Allah subhanahu wata’ala dibawah ini,
قُلْ لَّوۡ كَانَ الۡبَحۡرُ مِدَادًا لِّـكَلِمٰتِ رَبِّىۡ لَـنَفِدَ الۡبَحۡرُ قَبۡلَ اَنۡ تَـنۡفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّىۡ وَلَوۡ جِئۡنَا بِمِثۡلِهٖ مَدَدًا
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS: Al-Kahfi: 109)
Tak ada satupun orang yang belajar merasa sudah mengetahui segalanya. Bahkan semakin banyak menuntut ilmu, orang akan merasa semakin banyak yang tidak diketahuinya, dan itulah yang mendorongnya untuk terus belajar.
Begitu pula dalam dunia akademik, seorang profesor sekalipun, yang sudah mencapai jenjang tertinggi secara akademis, semakin banyak ia belajar selama itu pula ia merasa masih banyak ilmu yang belum diketahui. Oleh karenanya mengapa orang perlu belajar selama hidupnya karena belajar atau menuntut ilmu itu wajib, dan tidak akan pernah ada ujungnya, terutama ilmu-ilmu agama yang bersifat fardu ‘ain.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah subhanahu wata’ala memahamkan urusan agamanya.” (HR. Ahmad)
Kepahaman adalah buah dari ilmu, oleh karena itu, orang yang paham banyak hal sudah pasti memiliki ilmu yang banyak. Orang yang memiliki ilmu banyak, sudah barang tentu belajarnya sangat luar biasa. Oleh karenanya Allah subhanahu wata’ala pun memberi karunia kecintaan yang luar biasa untuk belajar.
Sadar atau tidak, Allah subhanahu wata’ala telah banyak mendidik kita melalui hikmah-hikmah-Nya yang tersebar di alam semesta. Pendidikan yang Allah sediakan untuk kita juga sebagai bukti bahwa Allah subhanahu wata’ala menyayangi kita agar kita tidak terjerumus dalam kejahiliahan.
Menurut Ustadz Riza Zacharias dalam buku Kepemimpinan Jalan Langit, penerbit CV. KMO Indonesia, ada dua cara yang Allah kehendaki dalam mendidik kita untuk belajar.
1. Sadar Belajar
Ini berlaku untuk mereka yang mengerti bahwa dirinya harus memacu seluruh otot belajarnya dalam semua hal wajib yang sedang mengitarinya. Misalnya, jika hendak berbisnis, maka semua hal yang terkait dengan tahapan demi tahapan dalam membangun sebuah usaha yang sukses akan dipelajari.
Bukan hanya itu, semua skill, pengetahuan dan persayaratan yang diperlukan untuk bisa sukses dalam usaha atau bisnisnya akan dipelajari dengan sungguh-sungguh. Bahkan untuk memastikan agar tidak salah arah dalam bisnisnya, seorang mentor bisnis pun dicari dan belajar darinya.
Semua dilakukan dengan sebuah keyakinan dan kesadaran, bahwa tujuan tingginya tidak akan bisa dijangkau tanpa memantaskan dirinya sesuai ketinggian amanahnya. Mereka-mereka ini lah yang kita sebut sebagai manusia pembelajar.
Akan tetapi tidak jarang juga kita melihat, orang ditinggikan dengan upaya-upaya menuntut ilmu yang minim. Namun, seringkali ketinggian tersebut justru membuatnya rendah di hadapan-Nya, sehingga jauh dari petunjuk-Nya, jauh dari kerendahan hati, jauh dari ketulusan.
Bisa jadi ketinggian yang diperoleh dengan cara seperti itu, membuat orang banyak mendekat, akan tetapi tujuan mendekatnya hanya untuk mengambil keuntungan sesaat dari dirinya.
Menjadi manusia pembelajar membutuhkan effort dan optimalisasi otot yang tidak mudah. Belum lagi saat harus mengamalkan atau mempraktikkan hasil belajarnya, disanalah ujian atas hasil belajarnya.
Kadang saat menjalani ujian tersebut menghadapi masalah, tantangan dan bisa jadi kesalahan, tapi itulah proses yang harus dilalui. Kesalahan atau kegagalan adalah bagian dari proses belajar, sebagaimana ungkapan Pak Dahlan Iskan, “Setiap orang punya jatah gagal. Habiskan jatah gagalmu ketika kamu masih muda.”
Dengan mengalami kegagalan, maka seseorang harus belajar dari kesalahan yang menyebabkan kegagalan tersebut. Seiring dengan waktu dan perbaikan-perbaikan yang dilakukan maka kegagalan tersebut menjadi batu loncatan untuk mencapai kesuksesan.
Beberapa karakter yang dimiliki oleh seorang manusia pembelajar, sebagaimana di jelaskan dalam buku “Kepemimpinan Jalan Langit”, diantaranya :
- Visioner : selalu memikirkan kebaikan besar dan upaya dalam bekerjanya pun besar
- Aware/sadar diri : selalu menyadari kekurangan diri dibandingkan dengan standard kemampuan yang disyaratkan
- Low Profile yang tidak dibuat-buat : semua kalangan yang ada di sekitarnya mengakui kejujurannya, egaliternya, tanpa menyertakan bumbu-bumbu tambahan sebagai bagian dari upaya pencitraan
- Easy Going : mudah menerima masukan, ringan memaafkan kekurangan orang lain, mudah melupakan keburukan orang lain, dan tidak menyimpan dendam
- Grateful : pandai bersyukur dan selalu mengingat kebaikan orang lain
- Positif : memancarkan aura positif sehingga membuat orang senang berdekatan dengannya
- Seamless : mudah menerima dan melakukan kebaikan saat ada yang menasihatinya
- Iron will : memiliki mental baja, tangguh, tidak mudah baper, karena dengan posisi amanahnya akan membuka peluang besar untuk dinilai dan dijadikan pembicaraan orang lain
- Empati : sensitif terhadap perasaan orang lain dan nilai kebenaran serta penuh rasa sayang dan ketulusan kepada orang lain
- Mindful : selalu berpikir, bertindak dengan akal sehat dan paham dengan resiko
- Empowering : mampu memberikan kepercayaan termasuk mentolerir “biaya belajar” yang kemungkinan dilakukan diri sendiri dan orang disekitarnya
Seorang manusia pembelajar yang memiliki kesadaran belajar yang kuat, maka seluruh unsur dalam lingkungannya, baik yang jauh maupun yang dekat, akan dijadikannya sebagai sumber untuk belajar. Ia akan senang untuk mengamati, mencermati dan mengambil pelajaran/hikmah dari pengamatannya untuk kemudian diformulasikan untuk perbaikan dirinya melalui action.
Salah satu sumber pembelajaran terbaik yang pernah hadir di dunia adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wassalam. Sebagaimana firman Allah,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Artinya: “Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab : 21)
2. Dipaksa Belajar
Cara Allah memaksa kita belajar bisa jadi dengan cara-cara atau skenario yang tidak mengenakkan kita, bahkan menyakitkan bagi kita. Tapi yakinlah bahwa itu sebenarnya adalah bukti sayangnya Allah kepada hamba-Nya.
Coba kita renungkan, berapa banyak orang yang kembali kepada-Nya dengan cara yang “enak”, bandingkan dengan orang-orang yang mendapatkan hidayah dan kembali kepada-Nya dengan cara yang tidak menyenangkan atau menyakitkan ? Berdasarkan observasi dan pengalaman penulis pribadi, jauh lebih banyak orang yang kembali kepada-Nya dengan cara-cara atau skenario Allah yang tidak menyenangkan bagi hamba-Nya.
Tapi dengan cara itulah kita kembali ke jalan-Nya. Maka bersabar dan bersyukurlah karena Allah tidak pernah membiarkan kita tersesat, dan dengan cara-Nya yang mungkin seringkali tidak menyenangkan bagi hamba-Nya, justru kita bisa kembali ke jalan-Nya.
Sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wassalam katakan ketika sahabat Abu Ubaidah datang dari Bahrain dengan membawa harta jizyah itu, para sahabat kaum Anshar mendengar kedatangan Abu Ubaidah ini. Maka merekapun berkumpul untuk menghadiri shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika telah selesai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung keluar. Namun mereka berusaha merintangi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika melihat mereka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum kemudian berkata, “Saya mengira kalian telah mendengar kedatangan Abu Ubaidah membawa sesuatu dari Bahrain?”
Mereka berkata, “Benar wahai Rasulullah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu, bergembiralah dan berharaplah memperoleh sesuatu yang melapangkan diri kalian. Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan akan menimpa diri kalian. Akan tetapi, aku khawatir jika dunia ini dibentangkan untuk kalian sebagaimana ia dibentangkan untuk orang-orang sebelum kalian sehingga kalian berlomba sebagaimana mereka berlomba, dan akhirnya kalian hancur sebagaimana mereka hancur.” (HR. Muslim dan Bukhari)
Kesenangan dan gemerlap dunia cenderung melenakan manusia, dan cobaan merupakan cara Allah meluruskan kembali jalan hamba-hambaNya. Pelajaran merupakan kunci untuk mendapatkan ilmu dan ilmu adalah sumber kepahaman.
Tanpa pelajaran dari-Nya, bisa jadi kita tersesat, terpuruk, makin tersesat, makin terpuruk bahkan hancur berkeping-keping. Oleh karenanya, walaupun pelajaran dari-Nya kita rasakan “tidak enak”, maka kita tetap harus mensyukurinya.
Ingatlah selalu sabda Baginda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wassalam,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Artinya : “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)
Siapa yang berkemungkinan terkena proses “dipaksa” belajar ini ? Wallahu’alam bishawab. Paling tidak, menurut pengalaman penulis buku Kepemimpinan Jalan Langit, biasanya orang-orang yang memiliki kategori kurang ilmu, malas belajar, kurang update, rakus, kemaruk, dan terlalu mudah percaya sama orang. Na’uudzubillah min dzaalik.
Yang membedakan nanti adalah pada bagaimana cara mental mereka menyikapi masalah yang dihadapi. Seseorang dengan mental positif akan mengambil hikmah yang kuat atas takdir yang dihadapinya, dan akan berubah, bertobat serta melakukan perbaikan. Tipe seperti ini insya Allah akan selamat.
Sebaliknya, orang dengan mental negatif akan selalu mengambil sudut penyesalan tidak berujung. Pada akhirnya ia akan disibukkan dengan mencari kambing hitam atas hal-hal buruk yang menimpanya, dibandingkan dengan sibuk memperbaiki diri dan terus belajar agar tidak terpuruk dalam kesalahan yang sama atau bahkan kesalahan yang lebih fatal lagi.
Pesan para ulama dalam menjalani kehidupan, “Jika mau selamat dan hidup penuh nikmat, peganglah Al Quran dan hadits Nabi-Nya seeratnya, sekuatnya. Jika mau hidup terang dan ringan, ikuti saja Nabi kita, belajar dari sunnah-sunnahnya dan praktekkan sehebat dan seoptimal yang bisa kita lakukan.”
Allah paksa kita untuk belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu yang kita lakukan. Tidak perlu disesali, karena itulah bagian dari proses belajar yang harus dilalui. Tersenyumlah sambil menengadahkan tangan ke langit dan sampaikan kepada Allah, “Terimakasih ya Allah, Engkau telah menyelamatkanku….!”
Jadi, apapun pilihan cara belajar yang harus kita lalui, tetaplah bersyukur kepada-Nya. Sikap syukur menjadi bukti atas janji pertobatan kita terhadap cara-cara salah yang kita lakukan sebelumnya, dan tekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa depan.
Demikianlah sahabat pembaca semua, artikel singkat tentang mengapa orang perlu belajar selama hidupnya. Ilmu Allah sangat luas, tidak akan pernah mampu kita sebagai manusia untuk menguasai semuanya, dan Kita tidak pernah tahu kapan ujian akan datang kepada kita.
Tanpa semangat dan kesadaran untuk terus belajar hingga akhir hayat, maka kita bisa tergolong dalam kategori hamba yang merugi dan tersesat.
Wallahu’alam bishawab.