HUTANG DALAM ISLAM. Hari ini baru saja mendapatkan kiriman video tentang bahayanya memulai bisnis dengan bermodalkan hutang. Jadi kembali teringat saat beberapa tahun lalu masih menjadi bagian dalam lingkaran hutang piutang ini. Alhamdulillah, saat ini sudah bisa terbebas dari segala transaksi hutang piutang tersebut. Sesungguhnya hutang piutang sudah diatur dalam Islam dengan sangat jelas, termasuk berbagai batasan dan peringatan yang disampaikan Allah SWT dan Baginda Muhammad SAW. Salah satu yang penulis selalu ingat dan dahulu seringkali terngiang-ngiang di kepala adalah kisah tentang bagaimana Rasulullah SAW tidak mau menshalati jenazah orang yang masih memiliki hutang serta hadist beliau berikut ini :
“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no. 1886)
Subhanallah, betapa beratnya hidup orang yang masih memiliki hutang, hingga Nabi Muhammad pun memberikan peringatkan dalam perumpamaan yang begitu berat seperti hadist di atas.
Sungguh sebuah ironi dalam kehidupan kita masa kini, dimana berhutang bahkan bukan lagi menjadi sebuah transaksi yang harus dihindari semaksimal mungkin karena melihat beban akhirat yang begitu berat. Malahan berhutang sudah menjadi sebuah kebiasaan atau gaya hidup yang sudah membudaya hampir diseluruh lapisan masyarakat. Masih segar dalam ingatan kisah dari para orang tua tentang bagaimana beberapa puluh tahun lalu, orang masih sangat malu bila ketahuan memiliki hutang / kredit pada sebuah lembaga keuangan. Hingga seringkali ditutup tutupi karena tidak ingin ada tetangga atau saudara yang mengetahui bahwa mereka memiliki hutang pinjaman.
Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat, hingga kini berhutang sudah bukan lagi sebuah hal yang tabu, bahkan sudah menjadi gaya hidup / life style. Keinginan untuk memiliki berbagai harta / asset secara cepat dan instant menjadi alasan orang untuk terlibat dalam transaksi hutang piutang tersebut. Memiliki banyak hutang seolah-olah sudah menjadi tanda-tanda kemakmuran dan kesuksesan seseorang. Keinginan dan kebutuhan akhirnya menjadi tersamarkan, seolah-olah semua keinginan itu adalah kebutuhan hidup yang harus terpenuhi segera.
Baca juga : Perbedaan Kebutuhan dan Keinginan Dalam Pencatatan Cash Flow Rumah Tangga
Hampir setiap aspek kehidupan tidak luput dari transaksi hutang piutang ini. Memang tidak bisa dipungkiri perkembangan yang pesat dari pelaku-pelaku keuangan ribawi yang tumbuh dengan subur, dan memberikan berbagai kemudahan bagi orang untuk mendapatkan pinjaman hutang juga merupakan faktor yang mempercepat terbentuknya budaya berhutang ini. Sayangnya fenomena ini tidak diikuti dengan pemahaman yang baik tentang bagaimana hukum hutang piutang dalam islam sesungguhnya.
Padahal bila kita kembali kepada hadist dan kisah Rasulullah SAW tersebut, harusnya kita akan berpikir berkali-kali untuk memiliki hutang. Mengapa ? Karena siapa yang bisa menjamin umur kita akan sampai hingga kita bisa melunasi hutang-hutang tersebut ? Bagaimana bila kita keburu dipanggil Allah sementara hutang kita belum terlunasi ? Siapa yang akan melunasi hutang-hutang kita tersebut ? Padahal jelas-jelas orang yang meninggal dengan meninggalkan hutang nasibnya seperti kisah dan hadist diatas.
BOLEHKAH BERTRANSAKSI HUTANG PIUTANG?
Dari berbagai sumber pada situs islami terpercaya, penulis dapatkan bahwa dalam Islam hutang dikenal dengan istilah Al-Qardh, yaitu berarti memotong atau dalam pengertian lain memberikan harta dengan kasih sayang, untuk digunakan dengan benar dan suatu saat nanti, harta tersebut akan dikembalikan lagi kepada si pemberi harta tersebut.
Hukum hutang piutang dalam Islam adalah boleh. Sebagaimana firman Allah SWT pada surat Al-Baqarah:245 berikut (yang artinya) :
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”(Q. S. Al-Baqarah ayat 245)
Allah memberikan ganjaran kebaikan yang lebih kepada orang yang memiliki kelapangan untuk membantu saudaranya yang sedang dalam kesulitan berupa pemberian hutang. Lalu bagaimana seharusnya hutang piutang itu dilakukan ?
Nabi Muhammad SAW adalah contoh terbaik bagi kita. Untuk mempelari bagaimana hukum hutang piutang dalam Islam, mari kita lihat kehidupan beliau. Pernahkah Nabi Muhammad berhutang ? Mungkin pertanyaan itu yang akan muncul kemudian di benak kita kemudian. Di akhir hayat beliau, beliau masih memiliki hutang kepada seorang Yahudi, dan hutang beliau dibayarkan dengan baju besi yang digadaikan kepada orang tersebut. Hadistnya adalah sebagai berikut :
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu’anhaa, bahwasanya dia berkata:
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya” (HR Al-Bukhari no. 2200)
Dari riwayat tersebut jelas sekali bahwa berhutang bukan sesuatu yang dilarang oleh Islam, karena Nabi Muhammad SAW pun melakukannya. Akan tetapi simak hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallaahu ‘anhaa, bahwasanya dia mengabarkan,
“Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa di shalatnya:
“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari azab kubur, dari fitnah Al-Masiih Ad-Dajjaal dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari berhutang“Berkatalah seseorang kepada beliau:
“Betapa sering engkau berlindung dari hutang?”Beliau pun menjawab:
“Sesungguhnya seseorang yang (biasa) berhutang, jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya” (HR Al-Bukhaari no. 832 dan Muslim no. 1325/589)
Jadi dari firman Allah SWT dan hadist diatas jelaslah bahwa berhutang bukanlah suatu perbuatan dosa sebagaimana telah disebutkan. Bahkan bagi pemberi hutang, Allah mengganjarnya dengan kebaikan/pahala yang berlipat, karena berarti telah membantu menolong saudaranya yang sedang ditimpa kesulitan. Tetapi, perlu secara khusus diperhatikan bagi orang yang diberi hutang, bahwa kebiasaan berhutang akan bisa mengantarkannya kepada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah subhaanahu wa ta’aala. Pada hadits di atas disebutkan dua dosa akibat dari kebiasaan berhutang, yaitu: berdusta dan menyelisihi janji. Keduanya merupakan perbuatan dosa yang sangat dilarang oleh Allah SWT.
Dari kisah Nabi Muhammad SAW tersebut kitapun mempelajari bahwa berhutang itu dilakukan Nabi saat kondisi darurat. Mengapa ? Karena Nabi Muhammad berhutang saat beliau membutuhkan makanan, dan itupun ditukar dengan sebuah jaminan yaitu baju besinya. Artinya, bila Nabi Muhammad tidak bisa membayar hutangnya maka akan dibayar dengan baju besi yang dijadikan sebagai jaminan. Berhutang hanya dilakukan bila dalam kondisi sangat-sangat terdesak, yaitu taruhannya adalah hidup dan mati (tanpa mendapatkan makanan manusia bisa mati), itupun dibarengi dengan adanya cadangan jaminan kepastian pembayaran yang senilai dengan hutang tersebut.
Pelajaran utama tersebut seolah-olah terlupakan oleh kita saat ini. Ditengah arus konsumerisme yang sangat luar biasa hebatnya, ajaran Rasulullah di atas jadi terlupakan atau sengaja dilupakan. Kita lebih sering selalu melihat ke atas terkait dengan kemakmuran dan ekonomi sehingga lupa ajaran Rasulullah untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita dengan senantiasa selalu melihat ke bawah. Yaitu melihat orang-orang yang ekonominya lebih rendah dari diri kita, sehingga yang muncul adalah senantiasa rasa syukur akan apa yang sudah kita miliki sebagai anugerah dari Allah SWT.
Akibatnya budaya konsumerisme tersebut, kita lebih rela berkubang dalam hutang piutang yang sudah sangat jelas peringatannya dari Baginda Rasul dan bahkan cenderung mengarahkan kita pada dosa berikutnya yang tidak kalah hebatnya yaitu riba. Kita lebih memilih menuruti hawa nafsu agar terlihat hebat dimata manusia, yaitu dengan “memiliki” segala keinginan akan perhiasan dunia yang hanya sementara dan sebentar ini saja, serta rela mengorbankan “masa depan” kita sesungguhnya yaitu kehidupan akherat kelak yang kekal dan abadi. Allaahumma innaa na’udzu bika min dzaalika.
Oleh karena itu beberapa syarat dan adab dalam Islam atau hukum hutang piutang dalam islam, ketika seseorang mau berhutang atau akan memberikan hutang kepada orang lain yang penulis dapatkan, agar terhindar dari keburukan kebiasaan berhutang dan mendapatkan kebaikan yaitu :
- Harta yang dihutangkan haruslah jelas dan halal
- Pemberi hutang tidak mengungkit-ungkit masalah hutang dan tidak menyakiti pihak yang diberi hutang (peminjam)
- Pemberi hutang memiliki niat untuk menolong dan penerima hutang niatnya adalah untuk mendapatkan ridho Allah dengan menggunakan yang dihutangkan tersebut secara benar
- Tidak mengambil / memberi kelebihan atau keuntungan dari harta yang dihutangkan tersebut kepada pemberi hutang
- Berhutang hanya dalam keadaan terdesak/darurat
- Harus ada perjanjian tertulis dan saksi yang dapat dipercaya
- Pihak yang berhutang harus sadar akan hutangnya dan harus melunasi dengan cara yang baik (dengan harta atau benda lain yang sama halalnya) dan berniat melunasinya sesegera mungkin
Berhutang memang diperbolehkan menurut Islam, namun menghindarinya adalah lebih baik. Allah SWT sudah mengatur rezeki setiap hamba-Nya . Hanya tinggal bagaimana kita menjemput rezeki tersebut, agar bisa mendapatkannya dengan cara yang halal. Jangan mudah tergiur dengan kemewahan sesaat, senantiasa berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT agar dilimpahkan rezeki yang halal dan berkah.
Jika memang sangat amat terpaksa untuk berhutang, maka itu lebih baik dilakukan daripada berbuat maksiat semacam mencuri. Tapi harus diingat, tujuan berhutang adalah murni untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan cara yang baik pula. Serta, di dalam hati sudah berniat untuk sesegera mungkin melunasi hutang tersebut agar tidak menjadi penghalang di akhirat nanti.
Sebagai seorang muslim yang sangat mendambakan surganya Allah SWT, kita semua khususnya penulis pribadi, sudah selayaknya mulai menata kembali cara-cara kita menjalani kehidupan ini. Bukan hanya dalam hal ibadah saja, tetapi juga dalam hal bermuamalah, karena itulah yang hampir menyita sebagian besar waktu kita sehari-hari. Alangkah beruntungnya kita jika semua yang kita lakukan selama hidup di dunia ini bernilai ibadah.
Apa yang sudah diperintahkan Allah SWT dan dicontohkan Rasulullah SAW merupakan jalan yang terbaik untuk kehidupan kita di dunia dan utamanya diakherat kelak. Khusus dalam bermuamalah, sudah saatnya kita jangan hanya terpaku pada apa-apa yang sudah terjadi dan menjadi budaya saat ini. Sudah selayaknya umat islam mulai kembali melihat dan mempelajari sunnah-sunnah yang sudah dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabat. Terlebih dalam hal hutang piutang dan transaksi ribawi yang saat ini sudah menjadi budaya modern akan tetapi sungguh-sungguh sangat diwanti-wanti oleh Rasulullah dan Allah SWT. Sudah selayaknya kita belajar lebih serius lagi tentang bagaimana hutang dalam Islam itu diatur.
Baca juga artikel : Ada Apa Dengan Riba Dalam Islam
Bagi penulis pribadi, mempelajari transaksi muamalah berdasarkan tuntunan Alquran dan Sunnah adalah sebuah kewajiban. Jangan sampai apa-apa yang kita makan dan konsumsi merupakan hasil dari transaksi dan perilaku yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Semoga pembahasan tentang hukum hutang piutang dalam islam ini dapat memberikan manfaat dan pemahaman yang lebih baik bagi kita semua. Harapannya tentu saja semoga kita senantiasa terhindar dari beratnya timbangan amal keburukan dan dosa saat hari penghisaban kelak. Aamiin.
Wallahu’alam bishawab…
sumber :
http://dalamislam(dot)com/dasar-islam/bahaya-hutang-dalam-islam
https://muslim(dot)or(dot)id/13427-bahaya-kebiasaan-berhutang.html
https://almanhaj(dot)or(dot)id/2716-adab-berhutang.html
https://rumaysho(dot)com/187-bahaya-orang-yang-enggan-melunasi-hutangnya.html