Cara Mendidik Anak Mengaji Al Quran Dan Ibadah Sejak Dini

anak-mengaji-al-quran
sumber : pixabay.com

CARA MENDIDIK ANAK MENGAJI AL QURAN DAN IBADAH SEJAK DINI. Mendidik anak agar memiliki kecintaan pada Al Quran merupakan sebuah tanggung jawab sekaligus amanah yang harus kita jalankan dengan sebaik-baiknya. Oleh karenanya setiap pasangan suami istri yang sudah selayaknya memiliki pengetahuan dan wawasan tentang bagaimana metode mendidik anak untuk belajar mengaji Al Quran setahap demi setahap. Untuk itu pada tulisan kali ini penulis ingin membagikan kisah nyata dari sebuah keluarga yang memiliki komitmen untuk memiliki anak-anak yang memiliki kecintaan pada Al Quran sejak dini.

Kisah nyata ini penulis ambil dari buku Terbukti Mendidik Anak Ala Rasulullah Untuk Rajin Beribadah Itu Mudah (True Story Orang Tua Berbagi Kisah),  karangan Aminah Mustari dkk,  penerbit QultumMedia, dengan judul Hafalan Al Quran Gaza. Buku ini merupakan kumpulan berbagi kisah dari para orang tua dalam mendidik anak-anak mereka untuk beribadah. Sungguh, sangat banyak hikmah yang bisa diambil dari kisah pengalaman para orangtua hebat ini. Mari, kita menjadi orangtua saleh yang menyalehkan putra putrinya.

*****************

“Pengenalan Gaza pada Sang Pencipta tidak hanya kulakukan melalui murattal. Sejak ia lahir, aku rajin membacakan buku cerita kepadanya.”

“Bismiyaaahi…oman…ohim. Ahamdu iyaah….obi…amamiin. Aohman….ohiim…”

Itulah sepenggal hafalan bacaan surat Al-Fatihah putra pertamaku-Gaza Khalid Efendi. Di usianya yang baru menginjak 2 tahun 3 bulan (pada Maret 2012) ini, ia sudah hafal surat Al-Fatihah dan Al-Ikhlas-meski terbata-bata dan belum jelas. Sementara untuk doa sehari-hari, ia juga sudah bisa melafazkan doa sebelum makan dan sebelum tidur. Sama halnya dengan hafalan surat Al-Qurannya, itupun terbata-bata dan belum terlalu jelas bunyi bacaannya.

Mungkin ini bukanlah suatu prestasi yang luar biasa bagi sebagian orang, mengingat akhir-akhir ini sering sekali ditayangkan di media bahwa ada banyak balita jenius yang sudah bisa menghafal Al-Quran pada usia dini. Bahkan, ada yang menjadi penceramah saat baru saja memasuki bangku Taman Kanak-kanak. Subhanallah!

Tapi, bagiku, ibunya, kemampuan anakku Gaza, dalam mengaji sangat menggembirakan. Betapa tidak, ini membuktikan bahwa usahaku selama ini ternyata tidak sia-sia. Sejak di dalam kandungan, Gaza sudah kubiasakan untuk mendengarkan rekaman murottal yang mengalun dari HP/Laptop.Tentu saja ia pun kuperdengarkan suara ayah dan bundanya saat mengaji. Namun, mengingat kemampuan ku dalam membaca Al Quran yang tidak terlalu bagus maka rekaman murottal pun kupilih. Biar Gaza terbiasa mendengar langsung dari ahlinya, begitu pikirku saat itu. Hal itu kulakukan berdasarkan apa yang pernah kupelajari saat kuliah mengenai efek musik klasik terhadap perkembangan otak bayi di dalam kandungan. Kalau musik klasik yang ciptaan manusia saja bisa sedemikan besar efeknya, pasti ayat-ayat Al Quran yang jelas-jelas ciptaan Sang Khalik, akan lebih dahsyat !

Adakah efek yang kurasakan ? Ya! Gaza saat di dalam kandungan biasanya lebih tenang saat mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran, tidak terlalu aktif menendang-nendang.

Perjuangan mengajari Gaza tentang agama pun berlanjut setelah ia lahir. Hampir setiap hari, ia kembali kuperdengarkan rekaman murottal Al Quran. Meski sesekali Gaza boleh menonton televisi atau mendengar musik, tetapi rekaman murattal tetap menjadi favoritku, terutama suara Muhammad Thaha Al-Junayd. Aku sangat berharap suatu saat Gaza bisa seperti anak itu, fasih membaca Al Quran dengan suara yang merdu sehingga mampu membius siapa saja yang mendengarnya untuk lebih mengenal Allah.

Pengenalan Gaza pada Sang Pencipta tidak hanya kulakukan melalui murattal. Sejak ia lahir, aku rajin membacakan buku cerita kepadanya. Baik yang spesifik bertema tentang keislaman (kisah Nabi, kisah-kisah dalam Al-Quran) maupun fabel. Apa saja kubacakan. Namun, di akhir certa tak lupa aku menyampaikan hikmahnya. Misalnya saja jika aku sudah bercerita tentang “Buaya yang licik“. Kusampaikan padanya bahwa licik itu sikap yang buruk dan sangat dibenci Allah. Saat masih bayi, Gaza memang belum bisa berkomentar atas ceritaku. Ia hanya mendengarkan, kadang sambil tenang namun tak jarang ia juga menangis tak peduli. Biar saja, toh aku yakin bahwa membacakan cerita bagi anak, kelak akan membawa manfaat positif padanya.

Menjelang usia empat belas bulan, Alhamdulillah Gaza sudah bisa berjalan. Metode belajarnya pun ikut berubah menyesuaikan dengan kondisi. Gaza mulai sering kuajak berjalan-jalan untuk mengamati alam sekitar. Kadang kami pergi ke kebun binatang, ke mal, atau sekedar berkeliling sekitar rumah saja. Di semua tempat yang kami lewati, aku selalu ‘cerewet’ bercerita banyak hal pada Gaza. Kuceritakan tentang langit biru tanpa tiang yang tak pernah rubuh. Kuceritakan tentang matahari yang terangnya lebih dari ribuan lampu. Juga tak luput kuceritakan tentang berbagai hewan yang terlihat oleh kami, mulai dari semut sampai gajah. Kukatakan padanya bahwa dengan kuasa Allah-lah mereka bisa ada dan melakukan aktivitasnya masing-masing.

Tak kusangka semua cerita itu mulai terlihat hasilnya saat Gaza berusia sekitar dua puluh bulan. Bicaranya sudah lumayan jelas waktu itu. Sedikit demi sedikit Gaza mulai bisa mengulang ceritaku. Subhanallah ! Betapa aku sangat bersyukur dengan kecerdasannya itu. Suatu hari, saat ia berusia dua tahun, Gaza dan kakeknya sedang menonton DVD tentang hewan-hewan di hutan. Ada adegan sekelompok semut yang menggotong ranting dan daun-daun kering. Sambil berkelakar, ayahku bilang bahwa semut-semut itu mau berantem bawa pedang. Spontan Gaza menjawab, “Bukan, itu semut bahwa daun buat bikin rumah!”

Terbayang enggak bagaimana perasaanku saat itu ? Campur-campur antara rasaya syukur, bangga dan bahagia. Gaza mendapatkan acungan dua jempol dari kakek dan neneknya. Dan, aku? Empat acungan jempol dari diri sendiri. Hehehe! Alhamdulillah, Allah menganugerahiku anak yang cerdas.

Peran suami dalam mendidik dan mengajar Gaza juga tak sedikit. Selain membantuku merawat Gaza dalam kesehariannya, ia juga sesekali mengajarkan Gaza tentang ketuhanan. Meski tak bisa bercerita sepertiku, ia punya cara lain yang tak kalah asyiknya untuk mengajar Gaza. Misalnya saja saat Gaza sedang makan, ia akan bertanya “Gaza tangannya ada dua. Siapa yang ngasih ? Allah… Kaki Gaza juga ada dua, dikasih sama Allah. Jadi, Gaza harus bilang, terimakasih sama Allah. Alhamdulillah.” Begitu terus ia ulang, dengan nada yang sama. Sehingga kadang saat Gaza mengucapkannya kembali, rasanya seperti mendengar sebuah nyanyian, “Tangan ada dua, kaki ada dua. Makacih Allah.”

Perkembangan buah hatiku sangat menakjubkan, terutama kecerdasannya. Aku bersyukur bahwa sejauh ini Allah memberikian kami rezeki yang cukup melalui keringat suamiku, sehingga aku tah harus ikut bekerja di luar rumah untuk membantu perekonomian keluarga. Seperti amanat suami kepadaku, bahwa aku boleh saja berkarya, tapi tetap di rumah agar bisa tetap memerhatikan anakm, sehingga tidak harus dititipkan pada baby sitter. Biar urusan nafkah menjadi tanggung jawab suami. Karena ibu adalah madrasah pertama dan utama setiap anak di dunia ini. Begitu selalu yang dikatakannya kepadaku.

Karena telah melihat langsung buktinya pada anakku, aku tentu saja seratus persen setuju dengannya.

Pritha K. khalida, S.Psi.

********************

Demikianlah sepenggal kisah nyata penuh hikmah dari orang tua yang telah berjuang sejak awal untuk mendidik anak-anaknya mengaji Al Quran dan beribadah kepada Allah sejak dini, bahkan sejak masih di dalam kandungan agar kelak mereka tumbuh menjadi anak sholeh dan sholehah.

Semoga bisa menjadi wacana pengetahuan dan hikmah bagi kita semua.

Aamiin.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

error: Content is protected !!
Semua keruwetan untuk Go Online bagi UMKM terjawab di SINI >>
This is default text for notification bar